Sabtu, 04 Oktober 2014

PONDASI METAFISIKA DALAM ISLAM

PONDASI METAFISIKA DALAM ISLAM

Fondasi metafisik sangat penting bagi sebuahepistemologi apapun karena sangat berpengaruh bagi seluruh bangunanepistmologi, termasuk di dalamnya sistem klarifikasi maupun metedologi yangdigunakannya.

Metafisik dan Epistemologi

Sebelum kita mengkaji keseluruhannya, kita harusmengrti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Metafisik Epistemologi ataubisa kita pisahkan pengertiannya masing-masing.
Metafisik itu sendiri berasal dari kata “meta” yangberarti sesudah, selain, atau sebaliknya. Sedangkan  “fisika” yang berarti nyata atau alam.Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh, metafisika adalah Ilmu yangmemikirkan hakikat dibalik alam nyata. Metafisika memperbincangkan hakikat darisegala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserapoleh pancaindera.[1]
Epistemologi dalam bahasa inggris lebih dikenaldengan istilah “Theory of knowledge”. Epistemologi berasal dari kata “episteme”yang berarti pengetahuan dan “logos” berarti teori. Lebih rinci, epistemologiyaitu salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikaltentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan.[2]
Setiap epistemologi mengandaikan secara eksplisitatau implisit basis metafisik tertentu yang dengannya, bangunan epistemologididirikan. Bahkan, ilmu-ilmu modern yang sering dipandang sekuler pun, ternyatajuga memiliki fondasi metafisiknya, sebagaimana ditunjukkan Arthur Burts dalambukunya The Metaphysical Foundantion of Moden Science. Kaitan metafisik danepistemologi ini penting dikemukakan mengingat pengaruhnya yang besar terhadapsistem epistemologi yang dibangunnya. Afirmasi atau penolakan seorang ilmuwanterhadap status ontologis entitas-entitas metafisik. Sebagai contoh, keraguanatau penolakan dari banyak ilmuwan Barat terhadap dunia metafisik, telahmenyebabkan mereka membatasi lingkup sains hanya pada objek-objek indrawi atausubstansi-subtansi material. Sains kemudian hanya berkutat denganentitas-entitas yang bisa diobservasi. Menurut istilah Holmes Rolston, sainshanya menjelaskan sebab-sebab efisien dan material saja, dan menyerahkanpenjelasan sebab-sebab formal.[3]

Demikian juga dengan epistemologi Islam yangdisusun oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim. Sebagai seorang yang memiliki kepercayaanpenuh pada dunia metafisik., seorang ilmuwan Muslim, harus menyusun ataumemiliki sebuah epistemologi yang cocok dengan kepercayaan tersebut. Tidaklahheran kalau kita menemukan banyak klasifikasi ilmu di dunia Islam yangmemasukkan objek-objek fisik dan objek-objek nonfisik sekaligus.

Sudah disinggung di atas bahwa epistemologi Islam,sesuai dengan kepercayaan ilmuwan-ilmuannya kepada dunia metafisik, telahmenciptakan teori ilmu yang membahas bukan saja objek-objek indrawi,sebagaimana ilmu-ilmu modern, tetapi juga objek-objek metafisik.
Jadi, tidak seperti kebanyakan ilmuwan barat yangtelah meragukan status ontologis untuk objek-objek metafisik, ilmuwan-ilmuwanmuslim memiliki kepercayaan yang kuat terhadap status ontologis dari bukanhanya objek-objek fisik yang kasap mata, tetapi juga objek-objek metafisik yang“gaib”. Objek-objek fisik ini mereka sebut sebagai mahsusat (objek-objek yangdapat ditangkap indra). Sedangkan objek-objek metafisik mereka sebut ma’qulat(objek-objek yang tidak bisa ditangkap indra, tetapi tidak dapat dipahami olehakal manusia).
Walaupun objek-objek metafisik tidak bisa dilihatindra, tetapi diyakini memiliki status ontologis yang sama nyatanya denganobjek-objek fisik, bahkan mungkin, lebih riil daripada objek-objek indra.Pembagian objek-objek ilmu ke dalam yang material dan immaterial ini dapatdilihat misalnya dalam karya al-kindi berjudul Iqsam al-‘Ulum (Divisi Ilmu);dalam karya al-Farabi berjudul Ihsha’ al-‘Ulum (Enumerasi Ilmu); dan dalamkarya Ibn Sina berjudul al-Syifa (Ilmu Penyembuhan).
Para ilmuwan atau filosof Muslim pada umumnyasepakat untuk membagi ilmu-ilmu filosof ke dalam ilmu-ilmu teoretis danilmu-ilmu praktis. Kemudian ilmu-ilmu teoretis dibagi lagi ke dalam kelompokbesar ilmu: metafisika, matematika, dan ilmu-ilmu alam. Pembagian ilmu initentu tidak dilepaskan dari basis ontologis yang mendasarinya. Al- Kindimisalnya, membagi wujud ke dalam “entitas-entitas material” dan“entitas-entitas immaterial”. Lalu entitas-entitas immaterial tersebut dibagilagi ke dalam: pertama, objek-objek yang pada dirinya bersifat immaterialtetapi masih memiliki hubungan dengan objek-objek material; kedua, objek-objekimmaterial pada dirinya dan tidak punya kaitan apapun dengan materi, danketiga, objek-objek material yang selalu berada dan terkait dengan materi dangerak.
Demikian juga Ibn Sina dalam kitabnya yang berjudulal-Syifa’, membagi objek ilmu ke dalam tiga kategori: Pertama, entitas-entitasyang bergerak dan berkaitan dengan materi spesies partikular, baik dalampemahaman kognitif (pikiran) maupun dalam subsistensi (alam luar). Kedua,entitas-entitas yang terpisah dari materi materi spesies partikular dalampemahaman kognitif tetapi tidak dalam dunia nyata. Ketiga, entitas-entitas yangterpisah dari gerak dan materi baik pada dunia nyata maupun dalampemahaman-pemahaman kognitif (pikiran).
Dengan kata lain, dalam skema ontologis Ibn Sina,ada tiga kelas utama dari yang ada (mawjudat), yaitu: (1) wujud yang secaraniscaya tidak bercampur dengan gerak dan materi; (2) wujud yang secara niscayabercampur dengan gerak dan materi; dan terakhir (3) adalah wujud yang dapatbercampur dengan gerak dan materi tetapi juga memiliki wujud yang terpisah darikeduanya. Kelas utama pertama dari yang ada inilah, yang menjadi objek ilmumetafisik, seperti Tuhan dan jiwa. Sedangkan yang kedua menjadi objek ilmu-ilmualam dan matematik, seperti kemanusiaan, ke-kuda-an, ke-persegi-an danlain-lain. Adapun kelas ketiga, seperti identitas individual, kesatuan,pluralitas dan kausalitas.[4]
Objek-objek dari jenis ketiga di atas akan menjadiobjek matematika, jika dapat dipahami pikiran tanpa melihat kepada materi dangerak spesifik. Maka objek-objek tersebut akan menjadi, atau dipandang sebagai,objek-objek ilmu alam.
Akan tetapi, entitas yang sama akan dipandangsebagai objek-objek matematika itu merujuk kepada unit bilangan, dan pluralitasmerujuk kepada bilangan-bilangan kuantitatif yang lebih besar  daripada bilangan yang dijadikan dasar ketikamelakukan operasi aritmatika, seperti menjumlah, mengurangi, mengalikan,membagi, menentukan akar, dan sebagainya.
Menurut Al-Farabi, hierarki ilmu terkait eratdengan hierarki wujud. Untuk menentukan keunggulan dari ilmu-ilmu tersebut, diamengajukan tiga macam kriteria: (1) keunggulan ilmu menurut kemuliaan objeknya;(2) menurut kedalaman pembuktiannya; (3) menurut kegunaanya.

Metode Ilmiah

Metode ini dipandang oleh para ilmuwan Muslimsebagai berikut:
1.     Metode Filisofis (Burhani)
Metode unggulan ilmu-ilmu filosof adalah apa yangdisebut “metode demonstratif”. Adapun letak keunggulannya dibanding denganmetode lainnya adalah karena menggunakan silogisme atau penalaran logis, denganmenggunakan premis-premis yang “benar, primer, dan niscaya.” Atas dasar inilah,pembuktian demonstratif  dipandangsebagai metode pembuktian paling ilmiah.

2.     Metode Empiris
Selain menekankan aspek matematik dan metafisikatau simbolik, ada juga yang lebih menekankan pada penelitian fisik atauempiris. Ibn Rusdy dalam Kitab al- Kulliyyah, mengkritik penggunaan metodematematik (atau dengan katanya sendiri “seni aritmatik dan musik” dalam ilmukedokteran.

3.     Metodee Intuitif (Irfani)
Selain metode demonstratif dan empiris yangmasing-masing menggunakan observasi indrawi dan penalaran rasional, ilmuwanMuslim juga menggunakan metode lain yang disebut intuitif (irfani). Sepertiyang dikatakan  Shams C. Inati, ada duamodus dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang diakui ilmuwan-ilmuwan Muslim:pertama,  “bergerak dari objek-objek yangdiketahui menuju objek-objek yang tidak diketahui”. Kedua, “semata-matamerupakan hasil iluminasi langsmg dari dunia ilahi. Modus pengetahuan yangpertama adalah metode demonstratif atau penalaran logika.

Berbeda dengan pendekatan rasional yang bersifatinferensial, pendekatan intuitif bersifat presensial, karena objek-objeknyahadir dalam jiwa seseorang, sehingga modus ilmu seperti itu disebut “ilmuhudhuri”.[5]

Keraguan atau penolakan dari banyak ilmuwan Baratterhadap dunia metafisik, telah menyebabkan mereka membatasi lingkup sainshanya pada objek-objek indrawi atau substansi-subtansi material.
Walaupun objek-objek metafisik tidak bisa dilihatindra, tetapi diyakini memiliki status ontologis yang sama nyatanya denganobjek-objek fisik, bahkan mungkin, lebih riil daripada objek-objek indra.
Para ilmuwan atau filosof Muslim pada umumnyasepakat untuk membagi ilmu-ilmu filosof ke dalam ilmu-ilmu teoretis danilmu-ilmu praktis. Kemudian ilmu-ilmu teoretis dibagi lagi ke dalam kelompokbesar ilmu: metafisika, matematika, dan ilmu-ilmu alam. Pembagian ilmu initentu tidak dilepaskan dari basis ontologis yang mendasarinya.


Daftar Pustaka

Sudarsono, Ilmu Filsafat SuatuPengantar,Jakarta:Rineka Cipta, cet.2, th.2001
Kartanegara, Mulyadhi. Nalar Religius,Jakarta:Erlangga, th.2007
Sudarsono. Filsafat Islam, Jakarta:Rineka Cipta,Th.2004

Footnote:
[1] Sudarsono, Ilmu Filsafat SuatuPengantar,Jakarta:Rineka Cipta, cet.2, th.2001, hlm.114
[2] Ibid, hlm.137
[3] Kartanegara, Mulyadhi. Nalar Religius,Jakarta:Erlangga, th.2007
[4]Sudarsono. Filsafat Islam, Jakarta:Rineka Cipta,Th.2004
[5] Kartanegara, op.cit, hlm.112

Tidak ada komentar:

Posting Komentar