Sabtu, 04 Oktober 2014

FILSAFAT METAFISIKA

FILSAFAT METAFISIKA

Filsafat berbeda dengan ilmu pengetahuan yang lainnya. Ketika ilmu pengetahuan berusaha menjawab sisi praktis kehidupan, filsafat mencari sisi fundamental kehidupan. Sisi fundamental ini adalah pondasi dari segala sesuatunya maka ini juga merupakan dasar dari segala realitas di dunia. Hal ini kemudian oleh Heidegger disebut dengan metafisika, suatu realitas fundamental akan segala sesuatunya. Metafisika berasal dari kata meta yang berarti melampaui dan fisika dari kata phusis yang berarti alam. Maka, metafisika memelajari tentang segala hal yang mendasari segala hal yang ada di dalam alam semesta. Realitas ini ada tanpa harus dipertanyakan, namun hal ini cenderung dilupakan padahal manusia sering mencapai batas-batas tertentu dalam kehidupan yang tidak bisa dijawab dengan ilmu pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa dijawab melalui filsafat dengan memertanyakan apa yang sebenarnya ada di balik semua itu.           
Metafisika bukan hanya sekedar mengetahui, namun juga memahami. Pengetahuan inderawi hanya mengetahui dari sisi fisik semata, namun metafisika berusaha memahami apa yang sebenarnya menjadi dasar dari segala hal. Metafisika menyiratkan bahwa segala hal yang ada di dunia ini pada dasarnya adalah abstrak, bahwa itulah jawaban atas segala pertanyaan. Segala sesuatunya, senyata apapun, bila ia terus dipertanyakan, maka akan mencapai suatu batas yang tak terelakkan, yang mau tak mau mengarah pada pertanyaan asali. Maka tidak salah bila salah satu cara memahami metafisika adalah melalui repetisi pertanyaan akan suatu realitas hingga pertanyaan itu berhenti dan ia tidak lagi mendapatkan jawaban. Pada titik ini, originalitas menemukan dirinya sendiri sebagai inti dari kebenaran realitas. Realitas ini tidak lagi parsial dengan hanya membatasi diri pada dunia inderawi, namun adalah universal yang mencakup semuanya. Universalitas ini sekaligus menyertakan ide bahwa pertanyaan asali itu adalah pertanyaan sekaligus jawaban. Ia tidak lagi menjelaskan ciri-ciri yang lain melalui pengandaian karena ia sendiri adalah pengandaian sekaligus syarat atas dirinya sendiri. Ia ada dalam dirinya sendiri tanpa predikat apapun. Ia adalah subjek dalam dirinya sendiri.
Heidegger menyiratkan bahwa metafisika adalah pertanyaan utama dalam filsafat. Pada titik inilah segala hal menemukan intinya yang tak terbantahkan dalam beings. Meskipun tak terbantahkan, namun hal ini juga tidak selaras dengan pikiran manusia yang dapat terbantahkan. Oleh karena itu, pemikiran manusia tentang metafisika bisa saja berbeda, namun hal ini tidak sekaligus mematahkan bahwa metafisika itu salah. Metafisika dibangun atas logika yang runut melalui penjernihan atas berbagai ambiguitas yang muncul atasbeings dalam kehidupan. Ambiguitas itu muncul karena berbagai spekulasi yang tidak berdasar, terutama atas logika berpikir yang salah. Logika berpikir yang salah pun tidak selamanya salah, karena bila suatu logika itu dibangun kembali, maka akan merujuk pada aspek metafisika yang lain, maka itu bisa saja benar. Metafisika pada dasarnya bukan hanya sekedar hasil, namun juga proses berfilsafat menuju pada pelurusan atas ide-ide dalam kehidupan.
Hal di atas juga tidak lepas dari peran filsafat itu sendiri. Banyak orang mengabaikan filsafat karena ia merujuk pada suatu hal yang tidak ada; yang secara fisik tak terlihat namun tetap ada. Kebanyakan orang lalu terlalu banyak menuntut filsafat namun mereka pun tidak menggunakan logika yang benar. Apa yang bisa diraih di dalam filsafat pun masih kabur hingga saat ini. Ada yang mengatakan bahwa filsafat hanya berisi kritik tanpa solusi dan ada pula yang mengatakan bahwa kritik itulah solusi dari filsafat. Kedua persepsi itu hanya bertumpu pada hasil, sedangkan filsafat seperti bisa terlihat dalam metafisika adalah prses berpikir. Heidegger menyebutnya sebagaithoughtful measurement dengan memandang pondasi berpikir atas sesuatu tanpa harus berangkat dari sesuatu itu dahulu. Ukuran yang dipergunakan tidak melulu kaku seperti dalam ilmu pengetahuan. Segalanya bersifat imparsial namun melampaui sesuatu itu sendiri. Dengan kata lain, metafisika memahami nilai intrinsik dari sesuatu daripada sekedar nilai entrinsik hal itu.
Sebagai contoh, beberapa orang menganggap kepemilikan uang adalah segalanya dalam hidup. Filsafat tidak menerima itu begitu saja. Ia mencoba untuk mencari apa itu yang segalanya dalam hidup. Paham eudaimonisme mengatakan bahwa itu adalah kebahagiaan. Apakah dengan kepemilikan uang maka orang akan bahagia? Belum tentu, karena itu hanya bersifat material. Kebahagiaan tidak mudah diterjemahkan begitu saja, maka uang pun bukan jawaban. Lalu dimana metafisikanya? Hal ini terletak pada materi dan non-materi. Bahwa memiliki uang pun juga tidak salah karena manusia butuh untuk memenuhi kebutuhannya, namun menyerahkan diri demi uang juga bisa menjerumuskan manusia. Kedua logika itu tidak salah karena keduanya logis. Maka, metafisika keduanya pun juga sah karena bersifat universal. Indikator yang dipergunakan adalah terkait dengan diri manusia itu sendiri. Baik itu di luar diri manusia, toh itu berorientasi pada diri manusia.
Seperti telah dicontohkan di atas, metafisika itu ada namun tidak ada. Ia ada karena terkandung secara universal dalam suatu hal namun tidak terlihat jelas dalam hal itu. Ia mempertanyakan hal yang tidak biasa. Masih terkait uang, ilmu ekonomi berusaha mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan usaha yang minimal, namun apakah itu membawa keadilan bagi semua orang itu adalah hal yang berbeda. Aspek keadilan inilah yang tak terlihat dan melampaui sisi fisik uang tersebut. Bukan nominal uang yang dicari(emerging), tapi bagaimana itu bisa menjadi baik bagi yang lain (becoming). Maka hal ini juga menjelaskan bahwa metafisika bersfat melampaui pengetahuan. Ia memahami apa yang ada dibalik suatu hal dengan mendalami pondasi fundamental hal tersebut. Heidegger menyebutnya sebagai trancendental horizon, bahwa metafisika berada pada suatu wilayah yang melampaui sisi imanen fisik dalam suatu hal. Sisi imanen dan transenden dalam suatu hal pada dasarnya sudah ada, namun manusia kebanyakan hanya melihat yang fisik saja. Maka pertanyaan-pertanyaan yang repetitif menuju pada hal yang fundamental perlu dimunculkan melalui filsafat. Manusia terlalu terikat pada yang fisik, maka ia sesungguhnya hanya perlu membangkitkan keinginan untuk membiarkan kebenaran itu terjadi.
Metafisika juga memicu berbagai kemungkinan di dalam proses berpikir. Ia tidak mencari hal yang tidak ada, melainkan sudah ada di dalamnya. Hal yang sudah ada tersebut perlu dipikirkan di luar ruang dan waktu manusia. Dengan demikian, nilai yang dimunculkan pun akan berbeda sepenuhnya dengan yang terlhat oleh indera manusia. Ia bersifat supratemporal yang membedakan antara necessary being dan contingent beings. Di satu sisi, setiap hal pada dasarnya adalah kontingen dengan keadaannya yang terikat ruang dan waktu, tapi ketika itu musnah, ada hal yang tetap ada meskipun itu tidak terjangkau indera manusia. Uang dan kebahagiaan misalnya, manusia memiliki uang bisa menuju pada kebahagiaan, namun tanpa uang pun kebahagiaan itu tetap ada dan bisa diraih tanpa kepemilikan atas uang. Kebahagiaan lebih bersifat tetap karena ia tidak relatif-material seperti uang. Ia bersifat rasional dan universal dan tetap ada meskipun tidak dipikirkan atau dimiliki secara fisik. Bahwa orang miskin pun memiliki hak yang sama dengan orang kaya di mata hukum karena hukum bukan terkait uang. Hukum lebih terkait pada aspek keadilan yang pasti yang terkandung dalam setiap diri manusia. Metafisika lebih memandang pada nilai dalam sesuatu yang membentuk hal itu daripada melihat pada sesuatu yang terkendung secara alami dalam hal tersebut.
Hal yang menarik dari bacaan Heidegger ini adalah tentang pertanyaan “why are there beings at all instead of nothing?”. Dalam penjelasannya, Heidegger sendiri mengawali jawaban atas hal itu dengan mengeliminasi “nothing” dan lebih menjawab pertanyaan yang afirmatif. Pada akhirnya, Heidegger lebih memilih untuk meniadakan hal itu dengan mengatakan bahwa ketiadaan itu tidak logis adanya. Memang demikian, bahwa manusia memiliki keterbatasan untuk hanya berpikir yang ada. Misalnya ketika manusia disuruh untuk berpikir warna yang belum pernah ia lihat, ia tidak bisa. Hal ini sebenarnya pun tidak mengeliminasi ketiadaan itu. Bukankah manusia perlu berpikir sebaliknya untuk suatu hal? Jika manusia berpikir warna merah, maka salah satu cara untuk menunjukkan esensi warna merah adalah meniadakannya. Jika ia ditiadakan, maka ia pun imajiner, toh ini pun juga merupakan metafisika. Bagaimana manusia mampu memahami perdamaian jika ia sebelumnya belum pernah melihat konflik? Bukankah suatu hal yang negatif itu juga adalah bentuk dari ketiadaan? Heidegger sendiri menjelaskan bahwa setiap hal memiliki kemungkinan, lalu mengapa ketiadaan itu tidak mungkin? Ketiadaan bisa saja ada tanpa harus bertumpu pada suatu yang ada. Metafisika memang sangat sulit dibayangkan tanpa merujuk pada sisi yang fisik terlebih dahulu, namun metafisika itu sendiri adalah imajiner. Tentang Tuhan, tidak ada yang pernah melihat Tuhan, namun hal ini juga tidak sekaligus mematahkan ide bahwa manusia tidak membutuhkan sesuatu hal yang melampaui mereka. Bisa saja hal yang metafisik itu ada terlebih dulu daripada yang fisik. Munculnya agama itu adalah karena postulat tentang Tuhan. Konsep akan Tuhan sudah ada terlebih dahulu dan kemudian disusun ke dalam sistem kepercayaan beserta ritual dan dogma menjadi agama. Agama menuntun manusia kepada Tuhan, tapi agama tidak mutlak menjadi syarat utama bagi manusia untuk memahami Tuhan. Meskipun demikian, hal ini juga tidak membuat agama menjadi hal yang buruk untuk diikuti. Hal itu menjadi buruk apabila ia bertentangan dengan rasionalitas manusia. Bila ia memiliki alasan yang logis, maka sisi metafisikanya pun akan terlihat dan dapat dipahami. Selain itu, bukankah bila tidak ada kebenaran yang paling benar maka itu juga mengarah pada ketiadaan. Metafisika bisa bermacam-macam dan bisa saling kontradiktif. Maka metafisika pun tidak membawa manusia pada kebenaran umum karena suatu hal tidak selalu dapat diukur dengan yang lain. Metafisika sebenarnya juga menyiratkan relativitas kebenaran, bahwa yang benar hanya jika secara logis ia berada di jalan yang benar. Kebenaran pada akhirnya hanya perkara interpretasi dan metafisika menyediakan jalan menuju ke sana. Semua nilai yang ada pada dasarnya juga diinterpretasikan oleh manusia, terutama dalam koridor baik dan buruk, dan ketika seseorang ditanyai tentang “apa itu kebaikan?” maka jawabannya pun bersifat material. Benar bahwa pada dasarnya metafisika itu ada dalam suatu horison yang transenden namun hal itu juga tidak semata-mata yang utama karena manusia juga bertumpu pada hal yang bersifat fisik. Maka metafisika pun adalah ada dan tidak ada; ia sendiri mengadakan dirinya sendiri meskipun secara fisik ia tidak ada karena ia diandaikan dalam pikiran menjadi ada.

Referensi:
Heidegger, Martin, 2000, Introduction to Metaphysics (translated), Yale Nota Bene:London.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar