Minggu, 28 September 2014

PUDARNYA PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BANGSA

PUDARNYA PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BANGSA
Oleh : Andy Kurniawan

Relasi antara institusi TNI-POLRI pada beberapa waktu belakangan ini menjadi sorotan publik, khususnya pasca terjadinya konflik (pertikaian) di beberapa daerah yang melibatkan prajurit di kedua institusi tersebut, sebagaimana banyak diberitakan oleh berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik.
Menurut catatan Kontras, sepanjang 2005-2012, telah terjadi 26 kali bentrok pasukan TNI vs anggota POLRI, yang menewaskan 11 orang dan 47 luka-luka. Korban material juga tak sedikit, mulai dari amunisi yang terbuang percuma, senjata hilang, motor dan mobil rusak, hingga pos dan markas terbakar.
Bentrok terbuka antara TNI-POLRI bukan hanya terjadi di wilayah konflik, seperti di daerah Ambon dan Poso.Tetapi acap kali juga terjadi di wilayah damai seperti di daerah Binjai (SUMUT), Atambua dan Gorontalo. Dan yang baru ini terjadi pada bulan Maret 2013 lalu adalah pembakaran oleh anggota TNI terhadap Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.
Mengapa sejak diterapkannya kebijakan pemisahan POLRI dari TNI lewat Tap MPR No VI/MPR/2000 dan Tap MPR No VII/MPR/2000, sering terjadi konflik terbuka anggota TNI dan anggota POLRI?
            Bagaikan penyakit akut yang menahun, konflik antara anggota TNI dan POLRI sudah sering terjadi sejak dulu. Hanya saja tidak seperti pada masa Orde Baru, di era reformasi saat ini setiap kejadian dengan cepat sampai kepada masyarakat oleh media massa, baik media cetak maupun media elektronik. Terlebih lagi dengan adanya UU Pers.
            Penyatuan TNI dan POLRI dalam satu organisasi ABRI pada masa Orde Baru ternyata tidak juga dapat menyembuhkan penyakit akut tersebut. Penyatuan tersebut justru menimbulkan arogansi di pihak TNI.
            Pemisahan POLRI dari ABRI bertujuan agar polisi Indonesia lebih manusiawi,  tidak bergaya militer, lebih sebagai pengayom masyarakat. Bukan sebagai pasukan tempur, yang seharusnya diemban TNI. Tetapi yang terjadi justru polisi merasa sebagai kekuatan hebat (super power) dengan kewenangan besar, terlebih lagi institusi POLRI langsung dibawah Presiden.
            Telah banyak upaya yang dilakukan guna meredam konflik antara TNI dan POLRI. Seperti upaya perdamaian yang dilakukan oleh pimpinan kedua institusi tersebut. Namun upaya ini nampaknya hanya menyentuh permukaan saja, akibatnya bentrokan demi bentrokan terus terjadi. Upaya lain yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah peningkatan kesejahteraan prajurit di kedua institusi tersebut. Akan tetapi pada kenyataannya masih saja terjadi perebutan lahan dan lokasi-lokasi strategis antara anggota TNI dan POLRI. Hal ini menandakan bahwa upaya penyelesaian yang telah dilakukan masih bersifat insidentil, kasus per kasus, dan belum mengena pada akar permasalahan yang sebenarnya.
Konflik yang berujung pada bentrokan fisik antar prajurit TNI dan POLRI, dengan bermacamragam modus konflik bagaikan fenomena puncak “gunung es”. Gunung es yang terlihat di permukaan intensitasnya terlihat sangat kecil. Namun di balik itu semua, tersimpan banyak lagi potensi bentrokan. Bagaikan api dalam sekam. Yang sewaktu-waktu dapat meledak tanpa ada yang mampu menghentikannya. Sebab kedua instituri negara ini memiliki otoritas untuk menggunakan senjata api modern yang mematikan. Konflik di antara mereka dapat mengancam keamanan dan pertahanan negara.
Banyak pendapat para ahli mengenai penyebab konflik yang terus menerus terjadi di antara anggota TNI dan POLRI, secara garis besarnya antara lain arogansi institusi, kesenjangan penerimaan fasilitas saat melaksanakan tugas, gaya hidup anggota POLRI terkesan lebih makmur, dibandingkan anggota TNI, besarnya akses POLRI ke sumber-sumber ekonomi dibandingkan TNI, ketidakjelasan pengaturan  pembagian wilayah kerja antara TNI sebagai kekuatan pertahanan negara dan POLRI sebagai kekuatan keamanan Negara, belum tuntasnya pemisahan tugas dan wewenang antara TNI dan POLRI, selain itu perilaku korup juga menjadi penyebab gesekan di antara dua institusi negara ini.
Pendapat tersebut ada benarnya, walaupun belum menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Analisis yang selama ini beredar lebih banyak dugaan, tanpa dasar penelitian akademik yang objektif. Penyelesaian konflik yang terus berkelanjutan antara anggota TNI dan POLRI tidak bisa hanya diserahkan kepada kedua institusi tersebut. Semua pihak, semua elemen bangsa perlu duduk bersama guna mendalami dan memahami masalah ini guna mengetahui secara tepat akar konflik itu sendiri. Selanjutnya memetakan secara cermat, sehingga ditemukan jalan keluar yang komprehensif untuk mengatasinya. Dengan demikian diharapkan dapat tercipta satu kebijakan yang konkrit agar konflik diantara anggota kedua institusi negara itu tidak meluas dan tidak terluang kembali.
Konflik yang melibatkan antar kesatuan bersenjata merupakan indikasi atas merosotnya l’esprit de Corps (semangat jiwa korsa), yang merupakan halutama dalam human relationship (hubungan antar manusia) alat-alat negara bersenjata tersebut.
Masalah hubungan antara manusia prajurit TNI dan anggota POLRI, merupakan inti dari leadership (kepemimpinan), sedangkan kepemimpinan merupakan inti dari manajemen dan manajemen merupakan inti dari administrasi negara Republik Indonesia.
Sistem administrasi negara terbentuk dari teori administrasi negara yang diimplementasikan ke dalam Hukum Administrasi Negara RI. Hukum administrasi negara pada hakikatnya adalah penyesuaiandari substansi Hukum Tata Pemerintahan atau Hukum Tata Usaha Negara.
Begitu reformasi bergulir telah disepakati untuk menuangkan semua yang tersirat dalam hukum administrasi negara ke dalam suatu rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Kesepakatan itu bertujuan mengatasi sistem administrasi negara RI yang dinilai masih amburadul dalam menghadapi globalisasi. Administrasi negara mempunyai konotasi administrasi pemerintahan
Ketahanan administrasi pemerintahan mempunyai ukuran, yang secara teoritis terdiri dari 4 hal. Semangat jiwa korsa merupakan hal yang utama dari 4 hal yang menyangkut ukuran administrasi pemerintahan terhadap organisasi alat-alat negara RI, di samping 3 ukuran lain yang menyangkut moril, disiplin dan profesionalisme personil, baik secara individu maupun dalam hubungan kesatuan (tim).
Ke-empat ukuran administrasi pemerintahan negara terhadap kesatuan TNI dan juga organisasi POLRI tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi saling mempengaruhi satu sama lain. Jika moril dan moral yang secara umum disebut mentalitas para prajurit TNI rendah, hal itu merupakan akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan mereka sebagai manusia yang berperadaban.
Menurut teori psikologi Maslow, manusia beradab mempunyai 5 tingkat kebutuhan. Kebutuhan tersebut tersusun secara hirarki seperti sebuah piramida, yaitu kebutuhan biologis, kebutuhan terhadap rasa aman,  the sense of belonging (kebutuhan akan rasa diperlukan), dan dihargai martabatnya, serta self actualization (perwujudan diri). Kebutuhan para prajurit TNI dan anggota POLRI tidak hanya pada kebutuhan biologis, melainkan juga kebutuhan terhadap rasa aman mereka dalam mengabdi kepada negara (pemerintah, rakyat dan tanah air) Republik Indonesia, merasa diperlukan dan dihargai martabatnya oleh negara RI.
Sejak reformasi bergulir secara organisatoris kedudukan TNI telah diletakkan semakin jauh, dari pemenuhan kebutuhan psikologis manusia menurut Maslow. Di lain fihak keadaan masyarakat bangsa Indonesia  yang masih dihinggapi oleh phobia TNI masa Orde Baru. Dan kebijakan pemerintahan negara RI yang dibentuk bersama-sama lembaga Legislatif justru seakan-akan mendukung phobia TNI tersebut. Reformasi di tubuh TNI telah mengembalikan prajurit TNI ke barak.
Kerancuan antara kewenangan kebijakan dengan kewenangan operasional sekarang ini berawal dari lahirnya ayat 1 ps 41 Undang-Undang RI no 2 pada 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tersurat dalam Undang-Undang tersebut, bahwa dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, kepolisian negara RI dapat meminta bantuan TNI.
Kata-kata ‘dapat’ di sini mendatangkan ambiguitas dalam penafsiran hukum. Kegandaan maksud atau keraguan tujuan tersebut memerlukan dengan segera lahirnya Peraturan Pemerintah, yang menentukan otoritas sipil mana atau siapa yang berwenang, untuk menggeser kata ‘dapat’ tersebut sehingga memberikan suatu kepastian hukum.
Tanpa kepastian itu, POLRI dapat keterusan digunakan untuk operasi tempur, sedangkan TNI tidak merasa dirinya diperlukan lagi dalam administrasi negara RI. Hal tersebut mengecilkan harapan untuk terpenuhinya the sense of belonging dalam jajaran alat-alat negara di bidang keamanan nasional, sehingga mulai menumbuhkan pula benih-benih inferiority multi complex.
Prinsip kedaulatan dalam pemerintahan negara demokrasi adalah supremasi sipil, sehingga pertimbangan dan keputusan memperkuat atau mengganti operasi kepolisian ke operasi tempur adalah kewenangan otoritas sipil yang terkait. Keputusan dari otoritas sipil tersebut dapat berupa penggunaan TNI untuk memperkuat Brimob atau menggantikannya, tergantung pada pertimbangan keadaan apakah daerahnya masih dalam situasi darurat sipil atau sudah harus ditingkatkannya menjadi keadaan darurat militer. Jadi, permintaan bantuan atau penggantian tanggungjawab operasional, sama sekali bukan merupakan kewenangan dari POLRI sendiri ataupun TNI sendiri sebagai alat negara.
Administrasi pemerintahan negara RI yang menempatkan TNI di bawah supervisi Menteri Pertahanan sedangkan POLRI langsung di bawah Presiden RI, dirasakan sangat mengganggu psikologi para prajurit yang semakin condong ke arah pudarnya rasa ikatan jiwa korsa dengan anggota-anggota POLRI sebagai sesama alat negara.
Pembiaran terhadap situasi kondisi demikian juga dapat mendatangkan bahaya besar, berupa kecurigaan politik dalam penyalahgunaan POLRI oleh penguasa negara. Kecurigaan politik itu berawal dari kedudukan Presiden RI yang langsung membawahi POLRI, karena dengan hubungan yang langsung tersebut memungkinkan Presiden dapat bermain mata dengan POLRI tanpa keterlibatan pihak ketiga.
POLRI perlu melakukan reformasi, seperti tidak usah lagi dibawah Presiden tapi cukup dibawah Mendagri. Dengan demikian kewenangan politik dan operasional POLRI tidak menjadikannya melebihi TNI. Dan wajah  polisi bukan lagi wajah komando yang garang seperti tentara, tapi harus berwajah sipil yang mengayomi. Selain itu dalam situasi damai tak ada perang, TNI yang memiliki banyak keterampilan harus dimaksimalkan dalam operasi non-perang dan kemasyarakatan, seperti penanganan bencana, TNI masuk desa.
Yang patut diwaspadai apabila konflik antara anggota TNI dan POLRI ini merupakan suatu skema yang sengaja dibentuk oleh pembuatnya guna melemahkan kedaulatan NKRI. Berhasil atau tidaknya skema itu tergantung pada seluruh komponen bangsa  Indonesia menyikapinya. Karena tak dapat dipungkiri, TNI-POLRI adalah organ-organ perekat bangsa. Bahkan di antara berbagai elemen-elemen bangsa lain, keduanya masih solid hingga kini, sebab keduanya merupakan anak kandung revolusi (kemerdekaan) dulu. Tak bisa tidak, TNI dan POLRI merupakan benteng terakhir dari sebuah sistem kedaulatan bangsa. Apabila kedua institusi tersebut rretak,  niscaya bakal pecahlah bangsa dan negara ini. Hal ini harus disadari bersama oleh segenap komponen bangsa.
TNI dan POLRI memang dari pembentukannya merupakan dua institusi yang berbeda. Namun apakah karena perbedaan itu mereka tidak dapat bersatu? Apa yang dapat mempersatukan keduanya? Ada baiknya bangsa ini kembali melihat ke belakang pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Sejak zaman kolonial Hindia Belanda memang sudah ada. Dan pada masa pendudukan Jepang, polisi bersifat semi militer, karena dinaungi oleh angkatan darat dan angkatan laut tentera Jepang. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang tidak membubarkan polisi seperti pasukan militer buatan mereka yang lain, yaitu Peta, Heiho, dan Gyu-Gun. Polisi tetap melaksanakan tugasnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat., termasuk pada waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada sidang hari kedua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945 dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) yang anggotanya berasal dari polisi-polisi yang sudah ada. Kemudian Badan Kepolisian Negara (BKN)  dimasukkan pada lingkungan departemen Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara (DKN). Djawatan Kepolisian Negara (DKN)  secara administratif mempunyai kedudukan yang sama dengan Dinas Polisi Umum seperti pada masa kolonial Belanda. Dan secara operasioal Djawatan Kepolisian Negara (DKN) bertanggung jawab kepada jaksa agung. Kemudian mulai tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah, Djawatan Kepolisian Negara bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Tanggal 1 Juli inilah yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara hingga saat ini.
Sedangkan TNI, pada awal berdirinya NKRI masih belum terbentuk. Baru pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang hanya disiapkan  untuk memelihara keamanan setempat. Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada masa itu berada dalam kewenangan KNIP dan tidak berada di bawah perintah presiden sebagai panglima tertinggi angkatan perang.
Baru pada tanggal 5 Oktober 1945, untuk memperkuat peranan keamanan umum, maka diadakan suatu Tentara Keamanan Rakyat” (TKR) yang bermarkas di Yogyakarta. Selanjutnya dalam pertemuan pada tanggal 12 November 1945 terpilih kolonel Sudirman sebagai Panglima Besar dan baru disahkan pada tanggal 18 Desember 1945.
Kemudian pada tanggal 7 Januari 1946 diubah lagi menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Selanjutnya guna memperbaiki susunan organisasi yang sesuai dengan dasar militer internasional, maka pada tanggal 24 Januari 1946 diubah menjadi Tetara Republik Indonesia (TRI).
Untuk mempersatukan Tetara Republik Indonesia (TRI) barisan-barisan bersenjata lain di samping Tentara Republik Indonesia agar tidak terjadi dualisme kepemimpinan, maka pada tanggal 5 Mei 1947, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan tentang perubahan Tetara Republik Indonesia (TRI) menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dan secara resmi penyatuan itu terjadi pada tanggal 3 Juni 1947.
Demikian panjang proses untuk melahirkan dan mewujukan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dan sebagai kekuatan yang baru lahir, disamping TNI harus menata dirinya, pada waktu yang bersamaan harus pula menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Namun dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan NKRI, seperti sadar akan segala keterbatasannya, baik TNI maupun POLRI berjuang bersama-sama rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan, sehingga bangsa Indonesia mampu mempertahankan pengakuan atas kemerdekaan dan kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949. Perjuangan ini berhasil berkat adanya kepercayaan diri yang kuat, semangat pantang menyerah, berjuang tanpa pamrih, jiwa pengabdian dan jiwa nasionalis yang tinggi.
Pertanyaan yang timbul, mengapa sejarah emas seperti itu tidak diulangi kembali. Justru sejarah darah yang dihidupkan kembali? Apakah kesadaran akan kedaulatan, keutuhan negara dan bangsa sudah memudar dalam jiwa anggota TNI dan POLRI saat ini? Apakah konflik yang terjadi antara anggota TNI dan POLRI ini sebagai akibat dari kesalahan berpikir terhadap konsep  logika perdamaian bangsa?
Apabila TNI dan POLRI sudah mulai kehilangan arah dan tidak mampu menentukan kemana harus bergerak, maka senjata dan peluru yang akan berbicara. Inilah akibat jika Pancasila sebagai falsafah negara, sebagai falsafah hidup bangsa telah lepas dari genggaman. Pancasila hanya menjadi hiasan dinding di ruangan kantor. Bangsa ini sudah tidak menghidupkan Pancasila, tetapi menumpang hidup dari Pancasila. Tak ada lagi jiwa nasionalis, tak ada lagi jiwa abdi negara yang mengayomi, melindungi, dan membela rakyat dan negara. Yang ada adalah jiwa aparat negara yang dengan arogansinya merasa menjadi wakil negara dalam ‘menghela’ rakyat. Padahal mereka juga berasal dari rakyat dan hidup oleh rakyat.
Sebagai penutup tulisan ini, kami teringat kisah yang selalu dicritakan oleh guru kamo waktu di sekolah dasar (SD). Di kisahkan dalam suatu acara keluarga, anak-anak ibu pertiwi yang terdiri dari tentara, polisi, guru, dokter, pedagang, petani, pekerja, nelayan, dan lain-lain  berebut yang paling benar dan merasa diri merekalah yang paling berjasa pada ibu mereka. Singkat cerita, satu jawaban ibu pertiwi pada mereka semua. “Anak-anakku, kalian semua berjasa padaku dengan tugas kalian masing-masing. Bersatulah kalian, maka kalian akan menjadi kuat, sehingga aku akan tetap ada. Tetapi jika kalian bertengkar, bercerai berai, maka kalian akan menjadi lemah, dan aku akan tiada”

Sumber bacaan :
Atmakusumah, Tahta Untuk Rakyat, Jakarta, 1982.
Bloembergen, Marieke (2011). Polisi Zaman Hindia Belanda. Dari kepedulian dan ketakutan. PT. Kompas Media Nusantara. ISBN 978-979-709-544-4.
Departemen Penerangan RI, Susunan dan Progaram Kabinet Republik Indonesia 1945-1970, Jakarta, 1970.
DisjarahTNI-AD, Sejarah TNI AD, VI, 1945-1973, Bandung, 1982.
DR. H. Moehammmad Jasin, Komisaris Jenderal Polisi (Purn.) (2012). Memoar JASIN SANG POLISI PEJUANG. Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-5177-7.
Gunawan, SH, MKn, Markus; Kompol Endang Kesuma Astuty, Kombes Drs. Ricky Francois Wakanno Ginting (2009). Buku pintar calon anggota dan anggota POLRI. Jakarta: Visi Media Pustaka. ISBN 979-605-033-7.
Muchlas Rowi, M. Catatan Perjalanan Hidup, Pemikiran dan Pemahaman, Jakarta, 2000.
Nasution, Dr. A.H. Memenuhi Panggilan Tugas Jilid II, Jakarta, 1983.
Nasution, Dr. A.H. Memenuhi Panggilan Tugas Jilid III, Jakarta, 1983.
Poesponegoro, Marwati Djoened; Nugroho Notosusanto. Sejarah nasional Indonesia: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia 1942-1998. PT. Balai Pustaka. ISBN 979-407-412-8.
Radik Djarwadi, Sejarah Corps Hasanudin, Makassar, 1972.
Saleh A. Djamhari, Memoar Jendral TNI (Pur) Soemitro, Jakarta, 1998.
Simatupang, T.B. Laporan dari Banaran, Jakarta, 1961.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar