PUDARNYA PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BANGSA
Oleh : Andy Kurniawan
Relasi antara institusi TNI-POLRI
pada beberapa waktu belakangan ini menjadi sorotan publik, khususnya pasca
terjadinya konflik (pertikaian) di beberapa daerah yang melibatkan prajurit di kedua
institusi tersebut, sebagaimana banyak diberitakan oleh berbagai media massa,
baik cetak maupun elektronik.
Menurut catatan Kontras, sepanjang 2005-2012, telah
terjadi 26 kali bentrok pasukan TNI vs anggota POLRI, yang menewaskan 11 orang
dan 47 luka-luka. Korban material juga tak sedikit, mulai dari amunisi yang
terbuang percuma, senjata hilang, motor dan mobil rusak, hingga pos dan markas
terbakar.
Bentrok terbuka antara TNI-POLRI bukan hanya terjadi
di wilayah konflik, seperti di daerah Ambon dan Poso.Tetapi acap kali juga
terjadi di wilayah damai seperti di daerah Binjai (SUMUT), Atambua dan
Gorontalo. Dan yang baru ini terjadi pada bulan Maret 2013 lalu adalah
pembakaran oleh anggota TNI terhadap Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU),
Sumatera Selatan.
Mengapa sejak diterapkannya kebijakan pemisahan POLRI
dari TNI lewat Tap MPR No VI/MPR/2000 dan Tap MPR No VII/MPR/2000, sering
terjadi konflik terbuka anggota TNI dan anggota POLRI?
Bagaikan penyakit akut
yang menahun, konflik antara anggota TNI dan POLRI sudah sering terjadi sejak
dulu. Hanya saja tidak seperti pada masa Orde Baru, di era reformasi saat ini
setiap kejadian dengan cepat sampai kepada masyarakat oleh media massa, baik
media cetak maupun media elektronik. Terlebih lagi dengan adanya UU Pers.
Penyatuan TNI dan POLRI
dalam satu organisasi ABRI pada masa Orde Baru ternyata tidak juga dapat
menyembuhkan penyakit akut tersebut. Penyatuan tersebut justru menimbulkan
arogansi di pihak TNI.
Pemisahan POLRI dari ABRI bertujuan
agar polisi Indonesia lebih manusiawi, tidak
bergaya militer, lebih sebagai pengayom masyarakat. Bukan sebagai pasukan
tempur, yang seharusnya diemban TNI. Tetapi yang terjadi justru polisi merasa
sebagai kekuatan hebat (super power) dengan kewenangan besar, terlebih lagi institusi
POLRI langsung dibawah Presiden.
Telah banyak
upaya yang dilakukan guna meredam konflik antara TNI dan POLRI. Seperti upaya perdamaian yang
dilakukan oleh pimpinan kedua institusi tersebut. Namun upaya ini nampaknya
hanya menyentuh permukaan saja, akibatnya bentrokan demi bentrokan terus
terjadi. Upaya lain yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah peningkatan
kesejahteraan prajurit di kedua institusi tersebut. Akan tetapi pada
kenyataannya masih saja terjadi perebutan lahan dan lokasi-lokasi strategis
antara anggota TNI dan POLRI. Hal ini menandakan bahwa upaya penyelesaian yang
telah dilakukan masih bersifat insidentil, kasus per kasus, dan belum mengena
pada akar permasalahan yang sebenarnya.
Konflik yang berujung pada bentrokan fisik antar
prajurit TNI dan POLRI, dengan bermacamragam modus konflik bagaikan fenomena
puncak “gunung es”. Gunung es yang terlihat di permukaan intensitasnya terlihat
sangat kecil. Namun di balik itu semua, tersimpan banyak lagi potensi
bentrokan. Bagaikan api dalam sekam. Yang sewaktu-waktu dapat meledak tanpa ada
yang mampu menghentikannya. Sebab kedua instituri negara ini memiliki otoritas
untuk menggunakan senjata api modern yang mematikan. Konflik di antara mereka
dapat mengancam keamanan dan pertahanan negara.
Banyak pendapat para ahli mengenai penyebab konflik
yang terus menerus terjadi di antara anggota TNI dan POLRI, secara garis
besarnya antara lain arogansi institusi, kesenjangan penerimaan fasilitas saat
melaksanakan tugas, gaya hidup anggota POLRI terkesan lebih makmur,
dibandingkan anggota TNI, besarnya akses POLRI ke sumber-sumber ekonomi
dibandingkan TNI, ketidakjelasan pengaturan pembagian wilayah kerja
antara TNI sebagai kekuatan pertahanan negara dan POLRI sebagai kekuatan
keamanan Negara, belum tuntasnya pemisahan tugas dan wewenang antara
TNI dan POLRI, selain itu perilaku korup juga menjadi penyebab gesekan di
antara dua institusi negara ini.
Pendapat tersebut ada benarnya, walaupun belum
menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Analisis yang selama ini beredar
lebih banyak dugaan, tanpa dasar penelitian akademik yang objektif. Penyelesaian
konflik yang terus berkelanjutan antara anggota TNI dan POLRI tidak bisa hanya
diserahkan kepada kedua institusi tersebut. Semua pihak, semua elemen bangsa
perlu duduk bersama guna mendalami dan memahami masalah ini guna mengetahui secara
tepat akar konflik itu sendiri. Selanjutnya memetakan secara cermat, sehingga ditemukan
jalan keluar yang komprehensif untuk mengatasinya. Dengan demikian diharapkan
dapat tercipta satu kebijakan yang konkrit agar konflik diantara anggota kedua
institusi negara itu tidak meluas dan tidak terluang kembali.
Konflik yang melibatkan antar kesatuan bersenjata
merupakan indikasi atas merosotnya l’esprit de Corps (semangat jiwa
korsa), yang merupakan halutama dalam human relationship (hubungan antar
manusia) alat-alat negara bersenjata tersebut.
Masalah hubungan antara manusia prajurit TNI dan
anggota POLRI, merupakan inti dari leadership (kepemimpinan), sedangkan
kepemimpinan merupakan inti dari manajemen dan manajemen merupakan inti dari
administrasi negara Republik Indonesia.
Sistem administrasi negara terbentuk dari teori
administrasi negara yang diimplementasikan ke dalam Hukum Administrasi Negara
RI. Hukum administrasi negara pada hakikatnya adalah penyesuaiandari substansi
Hukum Tata Pemerintahan atau Hukum Tata Usaha Negara.
Begitu reformasi bergulir telah disepakati untuk
menuangkan semua yang tersirat dalam hukum administrasi negara ke dalam suatu
rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Kesepakatan itu bertujuan
mengatasi sistem administrasi negara RI yang dinilai masih amburadul dalam
menghadapi globalisasi. Administrasi negara mempunyai konotasi administrasi
pemerintahan
Ketahanan administrasi pemerintahan mempunyai ukuran,
yang secara teoritis terdiri dari 4 hal. Semangat jiwa korsa merupakan hal yang
utama dari 4 hal yang menyangkut ukuran administrasi pemerintahan terhadap
organisasi alat-alat negara RI, di samping 3 ukuran lain yang menyangkut moril,
disiplin dan profesionalisme personil, baik secara individu maupun dalam
hubungan kesatuan (tim).
Ke-empat ukuran administrasi pemerintahan negara
terhadap kesatuan TNI dan juga organisasi POLRI tersebut tidak berdiri
sendiri-sendiri, tetapi saling mempengaruhi satu sama lain. Jika moril dan
moral yang secara umum disebut mentalitas para prajurit TNI rendah, hal itu
merupakan akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan mereka sebagai manusia yang
berperadaban.
Menurut teori psikologi Maslow, manusia beradab
mempunyai 5 tingkat kebutuhan. Kebutuhan tersebut tersusun secara hirarki seperti
sebuah piramida, yaitu kebutuhan biologis, kebutuhan terhadap rasa aman, the sense of belonging (kebutuhan akan rasa
diperlukan), dan dihargai martabatnya, serta self actualization (perwujudan
diri). Kebutuhan para prajurit TNI dan anggota POLRI tidak hanya pada kebutuhan
biologis, melainkan juga kebutuhan terhadap rasa aman mereka dalam mengabdi
kepada negara (pemerintah, rakyat dan tanah air) Republik Indonesia, merasa
diperlukan dan dihargai martabatnya oleh negara RI.
Sejak reformasi bergulir secara organisatoris
kedudukan TNI telah diletakkan semakin jauh, dari pemenuhan kebutuhan
psikologis manusia menurut Maslow. Di lain fihak keadaan masyarakat bangsa Indonesia yang masih dihinggapi oleh phobia TNI masa Orde Baru. Dan kebijakan
pemerintahan negara RI yang dibentuk bersama-sama lembaga Legislatif justru seakan-akan
mendukung phobia TNI tersebut.
Reformasi di tubuh TNI telah mengembalikan prajurit TNI ke barak.
Kerancuan antara kewenangan kebijakan dengan
kewenangan operasional sekarang ini berawal dari lahirnya ayat 1 ps 41
Undang-Undang RI no 2 pada 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Tersurat dalam Undang-Undang tersebut, bahwa dalam rangka melaksanakan tugas
keamanan, kepolisian negara RI dapat meminta bantuan TNI.
Kata-kata ‘dapat’ di sini mendatangkan ambiguitas dalam
penafsiran hukum. Kegandaan maksud atau keraguan tujuan tersebut memerlukan
dengan segera lahirnya Peraturan Pemerintah, yang menentukan otoritas sipil
mana atau siapa yang berwenang, untuk menggeser kata ‘dapat’ tersebut sehingga
memberikan suatu kepastian hukum.
Tanpa kepastian itu, POLRI dapat keterusan digunakan
untuk operasi tempur, sedangkan TNI tidak merasa dirinya diperlukan lagi dalam
administrasi negara RI. Hal tersebut mengecilkan harapan untuk terpenuhinya the
sense of belonging dalam jajaran alat-alat negara di bidang keamanan
nasional, sehingga mulai menumbuhkan pula benih-benih inferiority multi
complex.
Prinsip kedaulatan dalam pemerintahan negara demokrasi
adalah supremasi sipil, sehingga pertimbangan dan keputusan memperkuat atau
mengganti operasi kepolisian ke operasi tempur adalah kewenangan otoritas sipil
yang terkait. Keputusan dari otoritas sipil tersebut dapat berupa penggunaan
TNI untuk memperkuat Brimob atau menggantikannya, tergantung pada pertimbangan
keadaan apakah daerahnya masih dalam situasi darurat sipil atau sudah harus
ditingkatkannya menjadi keadaan darurat militer. Jadi, permintaan bantuan atau
penggantian tanggungjawab operasional, sama sekali bukan merupakan kewenangan
dari POLRI sendiri ataupun TNI sendiri sebagai alat negara.
Administrasi pemerintahan negara RI yang menempatkan
TNI di bawah supervisi Menteri Pertahanan sedangkan POLRI langsung di bawah
Presiden RI, dirasakan sangat mengganggu psikologi para prajurit yang semakin
condong ke arah pudarnya rasa ikatan jiwa korsa dengan anggota-anggota POLRI
sebagai sesama alat negara.
Pembiaran terhadap situasi kondisi demikian juga dapat
mendatangkan bahaya besar, berupa kecurigaan politik dalam penyalahgunaan POLRI
oleh penguasa negara. Kecurigaan politik itu berawal dari kedudukan Presiden RI
yang langsung membawahi POLRI, karena dengan hubungan yang langsung tersebut
memungkinkan Presiden dapat bermain mata dengan POLRI tanpa keterlibatan pihak
ketiga.
POLRI perlu melakukan reformasi, seperti tidak usah
lagi dibawah Presiden tapi cukup dibawah Mendagri. Dengan demikian kewenangan
politik dan operasional POLRI tidak menjadikannya melebihi TNI. Dan wajah
polisi bukan lagi wajah komando yang garang seperti tentara, tapi harus
berwajah sipil yang mengayomi. Selain itu dalam situasi damai tak ada perang, TNI
yang memiliki banyak keterampilan harus dimaksimalkan dalam operasi non-perang
dan kemasyarakatan, seperti penanganan bencana, TNI masuk desa.
Yang patut diwaspadai apabila konflik antara anggota
TNI dan POLRI ini merupakan suatu skema yang sengaja dibentuk oleh pembuatnya
guna melemahkan kedaulatan NKRI. Berhasil atau tidaknya skema itu tergantung
pada seluruh komponen bangsa Indonesia
menyikapinya. Karena tak dapat dipungkiri, TNI-POLRI adalah organ-organ perekat
bangsa. Bahkan di antara berbagai elemen-elemen bangsa lain, keduanya masih
solid hingga kini, sebab keduanya merupakan anak kandung revolusi (kemerdekaan)
dulu. Tak bisa tidak, TNI dan POLRI merupakan benteng terakhir dari sebuah
sistem kedaulatan bangsa. Apabila kedua institusi tersebut rretak, niscaya bakal pecahlah bangsa dan negara ini. Hal
ini harus disadari bersama oleh segenap komponen bangsa.
TNI dan POLRI memang dari pembentukannya merupakan dua
institusi yang berbeda. Namun apakah karena perbedaan itu mereka tidak dapat
bersatu? Apa yang dapat mempersatukan keduanya? Ada baiknya bangsa ini kembali
melihat ke belakang pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Sejak zaman kolonial Hindia Belanda memang sudah ada.
Dan pada masa pendudukan Jepang, polisi bersifat semi militer, karena dinaungi
oleh angkatan darat dan angkatan laut tentera Jepang. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang tidak membubarkan
polisi seperti pasukan militer buatan mereka yang lain, yaitu Peta, Heiho, dan Gyu-Gun. Polisi tetap melaksanakan tugasnya sebagai penjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat., termasuk pada waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada sidang hari kedua Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945 dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) yang anggotanya berasal dari
polisi-polisi yang sudah ada. Kemudian Badan Kepolisian Negara (BKN) dimasukkan pada lingkungan departemen Dalam
Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara (DKN). Djawatan Kepolisian Negara
(DKN) secara administratif mempunyai
kedudukan yang sama dengan Dinas Polisi Umum seperti pada masa kolonial
Belanda. Dan secara operasioal Djawatan Kepolisian Negara (DKN) bertanggung
jawab kepada jaksa agung. Kemudian mulai tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah, Djawatan Kepolisian Negara bertanggung jawab
langsung kepada Perdana Menteri. Tanggal 1 Juli inilah yang setiap
tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara hingga saat ini.
Sedangkan TNI, pada awal berdirinya NKRI masih belum
terbentuk. Baru pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang hanya
disiapkan untuk memelihara keamanan
setempat. Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada masa itu berada dalam kewenangan
KNIP dan tidak berada di bawah perintah presiden sebagai panglima tertinggi
angkatan perang.
Baru pada tanggal 5 Oktober 1945, untuk memperkuat peranan keamanan umum, maka diadakan suatu Tentara
Keamanan Rakyat” (TKR) yang bermarkas di Yogyakarta. Selanjutnya dalam
pertemuan pada tanggal 12 November 1945 terpilih kolonel
Sudirman sebagai Panglima Besar dan baru disahkan pada tanggal 18 Desember 1945.
Kemudian pada tanggal 7 Januari 1946 diubah lagi
menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Selanjutnya guna memperbaiki susunan
organisasi yang sesuai dengan dasar militer internasional, maka pada tanggal 24
Januari 1946 diubah menjadi Tetara Republik Indonesia (TRI).
Untuk mempersatukan Tetara
Republik Indonesia (TRI) barisan-barisan bersenjata lain di
samping Tentara Republik Indonesia agar tidak terjadi dualisme kepemimpinan,
maka pada tanggal 5 Mei 1947, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan tentang
perubahan Tetara
Republik Indonesia (TRI) menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dan
secara resmi penyatuan itu terjadi pada tanggal 3 Juni 1947.
Demikian panjang proses untuk melahirkan
dan mewujukan Tentara
Nasional Indonesia (TNI). Dan sebagai kekuatan yang
baru lahir, disamping TNI harus menata dirinya, pada waktu yang bersamaan harus
pula menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Namun dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan
NKRI, seperti sadar akan segala keterbatasannya, baik TNI maupun POLRI berjuang
bersama-sama rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan, sehingga
bangsa Indonesia mampu mempertahankan pengakuan atas kemerdekaan dan kedaulatan
RI pada tanggal 27 Desember 1949. Perjuangan ini berhasil berkat adanya
kepercayaan diri yang kuat, semangat pantang menyerah, berjuang tanpa pamrih,
jiwa pengabdian dan jiwa nasionalis yang tinggi.
Pertanyaan yang timbul, mengapa sejarah emas seperti
itu tidak diulangi kembali. Justru sejarah darah yang dihidupkan kembali?
Apakah kesadaran akan kedaulatan, keutuhan negara dan bangsa sudah memudar
dalam jiwa anggota TNI dan POLRI saat ini? Apakah konflik yang terjadi antara
anggota TNI dan POLRI ini sebagai akibat dari kesalahan berpikir terhadap
konsep logika perdamaian bangsa?
Apabila TNI dan POLRI sudah mulai kehilangan arah dan
tidak mampu menentukan kemana harus bergerak, maka senjata dan peluru yang akan
berbicara. Inilah
akibat jika Pancasila sebagai falsafah negara, sebagai falsafah hidup bangsa
telah lepas dari genggaman. Pancasila hanya menjadi hiasan dinding di ruangan
kantor. Bangsa ini sudah tidak menghidupkan Pancasila, tetapi menumpang hidup
dari Pancasila. Tak ada lagi jiwa nasionalis, tak ada lagi jiwa abdi negara
yang mengayomi, melindungi, dan membela rakyat dan negara. Yang ada adalah jiwa
aparat negara yang dengan arogansinya merasa menjadi wakil negara dalam ‘menghela’
rakyat. Padahal mereka juga berasal dari rakyat dan hidup oleh rakyat.
Sebagai penutup tulisan ini, kami
teringat kisah yang selalu dicritakan oleh guru kamo waktu di sekolah dasar
(SD). Di kisahkan dalam suatu acara keluarga, anak-anak ibu pertiwi yang
terdiri dari tentara, polisi, guru, dokter, pedagang, petani, pekerja, nelayan,
dan lain-lain berebut yang paling benar
dan merasa diri merekalah yang paling berjasa pada ibu mereka. Singkat cerita,
satu jawaban ibu pertiwi pada mereka semua. “Anak-anakku, kalian semua berjasa
padaku dengan tugas kalian masing-masing. Bersatulah kalian, maka kalian akan
menjadi kuat, sehingga aku akan tetap ada. Tetapi jika kalian bertengkar,
bercerai berai, maka kalian akan menjadi lemah, dan aku akan tiada”
Sumber bacaan :
Atmakusumah,
Tahta Untuk Rakyat, Jakarta, 1982.
Bloembergen,
Marieke (2011). Polisi Zaman Hindia Belanda. Dari kepedulian dan ketakutan. PT.
Kompas Media Nusantara. ISBN 978-979-709-544-4.
Departemen
Penerangan RI, Susunan dan Progaram Kabinet Republik Indonesia 1945-1970,
Jakarta, 1970.
DisjarahTNI-AD,
Sejarah TNI AD, VI, 1945-1973, Bandung, 1982.
DR. H.
Moehammmad Jasin, Komisaris Jenderal Polisi (Purn.) (2012). Memoar JASIN SANG
POLISI PEJUANG. Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama. ISBN
978-979-22-5177-7.
Gunawan, SH,
MKn, Markus; Kompol Endang Kesuma Astuty, Kombes Drs. Ricky Francois Wakanno
Ginting (2009). Buku pintar calon anggota dan anggota POLRI. Jakarta:
Visi Media Pustaka. ISBN 979-605-033-7.
Muchlas
Rowi, M. Catatan Perjalanan Hidup, Pemikiran dan Pemahaman, Jakarta, 2000.
Nasution,
Dr. A.H. Memenuhi Panggilan Tugas Jilid II, Jakarta, 1983.
Nasution,
Dr. A.H. Memenuhi Panggilan Tugas Jilid III, Jakarta, 1983.
Poesponegoro,
Marwati Djoened; Nugroho Notosusanto. Sejarah nasional Indonesia: Zaman
Jepang dan zaman Republik Indonesia 1942-1998. PT. Balai Pustaka. ISBN 979-407-412-8.
Radik
Djarwadi, Sejarah Corps Hasanudin, Makassar, 1972.
Saleh
A. Djamhari, Memoar Jendral TNI (Pur) Soemitro, Jakarta, 1998.
Simatupang,
T.B. Laporan dari Banaran, Jakarta, 1961.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar