Senin, 29 September 2014

NALURI BERAGAMA PADA MANUSIA

NALURI BERAGAMA PADA MANUSIA
Oleh : A. Kurniawan

Sedari zaman dahulu manusia telah memiliki agama dan sampai akhir zamapun manusia akan tetap beragama. Mengapa? Karena agama sudah menjadi fitrah manusia, naluri manusia yang tidak dapat dipisahkan dari dirinya, dari jiwanya. Setiap manusia tentu mempunyai naluri untuk mempercayai adanya satu kekuatan ghaib, kekutan Tuhan, kekuatan pencipta, yang berada di atas kekuatan apapun yang ada di alam ini, causa prima. Kekuatan yang maha dasyat inilah yang menjadi tempat manusia untuk menggantungkan hidupnya. Naluri beragama muncul karena adanya kepercayaan akan adanya Sang Pencipta, adanya Tuhan. Kemudian timbul pertanyaan: Manusiakah yang meng”ada”kan Tuhan, ataukah memang Tuhan yang menciptakan manusia?
            Naluri beragama, naluri berketuhanan biasanya muncul di saat manusia mengalami kesulitan yang sangat menggoncangka jiwanya. Pada kondisi ini, manusia yang mengaku atheis, tidak beragama sekalipun akan menyebut dan meminta pertolongan serta meminta perlinndungan Tuhan. Dalam keadaan wajarpun naluri berketuhananpun dapat muncul. Terutama di saat manusia menyaksikan suatu kejadian atau pemandangan yang sangat menakjubkan dan sangat berkesan dalam hatinya. Karena kesemua kejadian itu tidak akan terjadi dengan sendirinya.
            Pada mulanya mausia menciptakan satu Tuhan yang merupakan penyebab petama bagi segala sesuatu, dan penguasa langit dan bumi. Dia tidak terwakili oleh gambaran apapun dan tidak memiliki kuil sebagai tempat ibadah dan pendeta yang mengabadi kepadaNya. Dia terlalu luhur untuk ibadah manusia yang tak memadai. Perlahan-lahan ia memudar dari kesadaran umatnya. Dia telah menjadi begitu jauh sehingga manusia memutuskan tidak lagi menginginkannya. Pada akhirnya Dia dikatakan menghilang. Mengapa bisa demikian? Karena setelah menciptakan alam, Dia menata dari jauh segala urusan manusia. Benarkah Tuhan berada di tempat yang jauh? Yang tak terjangkau oleh mata manusia? Yang tak terjangkau oleh hati manusia?
            Kemudian dalam perjalanan selanjutnya muncul rasa rindu yang amat sangat dari dalam diri manusia terhadapNya. Kerinduan ini diungkapkan melalui doa dan puji-pujian. Manusia percaya bahwa Tuhan selalu mengawasi dan akan menghukum setiap dosa yang mereka perbuat. Namun anehnya, Tuhan tidak hadir dalam kehidupan keseharian manusia yang selalu memanjatkan doa tadi? Tidak ada kultus khusus untukNya, Dia tidak pernah tampil dalam penggambaran.
            Salah satu alasan mengapa agama tampak tidak relevan pada masa sekarang dikarena banyak diantara manusia tidak lagi memiliki rasa bahwa mereka dikelilingi oleh yang ghaib. Sebagian manusia memiliki rasakepercayaan yang kuat terhadap agamatetapi dengansedikit keimanan terhadap TuhanSebagian manusia berTuhan karena rasa takut akan hukumanNya dan pengharapan akan imbalanNya. Wajarlah apabila akhirnya Tuhan berada nun jauh di atas sana, di atas singgasananya di ufukil a’laa, tidak berada dari diri manusia, di dalam hati manusia itu sendiri. Bukankah Tuhan sangat dekat pada manusia bahkan lebih dekat dari urat lehernya sendiri?
            Agama bukanlah hanya sekedar rasa takut dan harapan, tapi lebih dari itu, ada rasa kerinduan yang amat sangat akan Sang Pencipta, asyaddu hubbalillah, adanya rasa butuh dan memilikinya. Oleh karena itu para ahli tasawuf selalu berusaha mengolah dan melatih nafsunya untuk meningkatkan rasa keimanan mereka terhadap Tuhan bukan hanya kepercayaan terhadap agama. Mereka cenderung berpegang pada suatu pepatah: ”Barang siapa yang tak merasakanNya, maka takkan mengetahuiNya”. ”Barang siapa yang tak mengenal dirinya maka tak akan mengenal rabbnya”.
            Oleh karena itu untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap agama dan Tuhan, patutlah diketahui apa sebenarnya kehendak Tuhan dengan menjadikan alam semesta ini. Patut diketahui apa sebenarnya tujuan kita diciptakan, tujuan kita ada di dunia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar