Jumat, 14 November 2014

SIGNIFIKANSI SPIRITUAL CINTA MANUSIA

SIGNIFIKANSI SPIRITUAL CINTA MANUSIA
Mencintai dengan sungguh-sungguh berarti hidup dengan sungguh-sungguh, dan orang yang menjalani kehidupan tanpa cinta belum benar-benar menjalani kehidupan manusia dengan sepenuhnya. Keyakinan para Sufi ini menunjuk pada kebenaran penting bahwa cinta bukan hanya merupakan bagian dari kehidupan, melainkan juga memainkan peran spiritual yang sangat penting dalam perkembangan batin kita. Seperti yang telah disebutkan, kekuatan cinta bersifat transformatif. Ia memiliki efek alkemis pada jiwa dan dapat mengubah substansi jiwa itu sendiri. Perkawinan alkemis antara raksa dan belerang yang menghasilkan berbagai substansi konkret (menurut alkemi) melambangkan transformasi batin yang dihasilkan oleh rangkulan cinta terhadap jiwa, memungkinkannya meraih kesatuan dengan Roh dalam cara yang konkret.
Seorang manusia dapat mengalami berbagai bentuk cinta. Kita bisa mencintai orang tua kita, anak-anak dan kerabat kita. Kita bisa mencintai kota, negara, dan budaya kita. Ada cinta pada alam dan seni. Ada cinta pada agama dan hal-hal yang suci, semua mengarah kepada cinta Tuhan. Semua bentuk cinta ini membawa seseorang keluar melampaui egonya, melakukan pengorbanan dan menderita, memberi dan memberi lagi. Juga semua bentuk cinta merupakan pertanda hasrat jiwa yang mendalam akan cinta murni yang bersifat ilahiah. Tetapi ada satu jenis cinta yang paling kuat pada tataran manusia—dan tentu saja tidak dalam kaitannya dengan Tuhan—dan itu adalah cinta lelaki untuk perempuan atau cinta perempuan untuk laki-laki. Cinta konjugal dan romantis adalah ranah ujian bagi pertumbuhan jiwa secara emosional dan spiritual, dan ini terkait langsung dengan cinta dan pada akhirnya kesatuan antara jiwa dan Roh. Pernyataan ini tentu saja tidak menghapuskan kemungkinan keterlepasan dari cinta seperti itu demi Allah, seperti yang kita lihat dalam tindakan membujang yang dipraktekkan agama-agama tertentu.
Cinta yang sejati dan otentik dalam pengertian romantis, dan bukan ketertarikan seksual semata, merupakan sebentuk rahmat dan karunia dari Langit. Ia menghunjam ke dalam jiwa kita seperti badai yang kuat, menumbangkan keterikatan dan kebiasaan kita yang lama. Mencabut akar-akar jiwa kita dari ranah kepuasan diri dan egoisme. Menyebabkan sukacita sekaligus derita, kegairahan serta kerinduan. Melepaskan jiwa dari semua pertalian dengan yang lain dan mengikatkannya pada objek kecintaannya, bahkan mengatasi pikiran yang terserak-serak dan memusatkannya pada satu objek itu saja. Sifat kemutlakan cinta kepada Allah tercermin dalam cinta manusia yang seperti itu, yang memerlukan peluruhan seluruh sikap mementingkan diri sendiri dan memberi tanpa batas. Cinta seperti itu, jika otentik, tidak akan berkurang tatkala yang dicintai menjadi kurang cantik secara lahiriah dan kehilangan daya tarik lahiriahnya, sebab objek dari cinta itu adalah sosoknya dan bukan atributnya, yang mungkin menyenangkan hati pecintanya pada satu momen dan tidak demikian pada momen lainnya. Itulah sebabnya cinta romantis yang otentik bertumbuh bukannya berkurang sering berjalannya waktu. Cinta seperti itu adalah karunia dari Allah kepada makhluk-Nya, yang Dia ciptakan berpasang-pasangan, seperti yang ditegaskan Al-Quran, dan cinta ini dalam pengertian terdalamnya tidak dapat dipisahkan dari cinta kepada Allah dan cinta Allah kepada kita. Inilah arti penting spiritual dari cinta manusia.
Dimensi seksual dari cinta itu sendiri penuh dengan signifikansi spiritual. Kesatuan seksual adalah cerminan duniawi atas prototipe surgawi. Laki-laki mengalami yang Tak Terbatas dan perempuan mengalami yang Mutlak di dalam kesatuan duniawi ini, yang mengembalikan, meski untuk sejenak, manusia ke dalam keutuhan androginik. Kebahagiaan kesatuan seksual juga merupakan pendahuluan dari kebahagiaan kesatuan jiwa dengan Roh, seperti yang dibicarakan oleh Hermetisisme Kristen serta beberapa mazhab mistisisme Kristen lainnya. Seperti disebutkan di atas, jiwa tentunya dapat menarik diri dari pesona duniawi ini melalui sikap zuhud demi mencari perkawinan langsung dengan Roh, seperti yang kita lihat dalam monastisisme dan berbagai bentuk spiritualitas Kristen, namun kesatuan seksual tetap penting secara rohani, khususnya dalam Tasauf yang, seperti Islam selebihnya, memandang seksualitas sebagai kenyataan sakral, sehingga harus diatur oleh Hukum Suci, bukan sebagai perbuatan dosa semata yang hanya berasal dari kejatuhannya dari surga. Kesatuan seksual dapat mengantarkan kepada pengalaman fanā’ atau anihilasi dan karenanya kebebasan, betapa pun sejenak, dari belenggau keberadaan yang terpisah dan keterbatasan kesadaran sehari-hari. Dari sudut pandang Sufi, dorongan ke arah kesatuan seksual, yang merupakan dorongan sensual yang paling kuat di dalam sebagian besar manusia, pada kenyataannya merupakan pencarian jiwa akan kesatuan dengan Allah, terutama ketika kesatuan manusia digabungkan dengan cinta. Setiap kekasih pada akhirnya merupakan pantulan dari Sang Kekasih atau ma’syūq, sebagaimana dikatakan para Sufi, yang tak lain adalah Allah di dalam kenyataan batin-Nya, kenyataan yang sering dirujuk kaum Sufi dalam bentuk feminin. Zat Allah disebut Al-Dzāt dalam bahasa Arab, dan itu secara gramatikal bergender feminin. Dipandang sebagai Kekasih, dimensi batin dari yang Ilahi adalah Keindahan feminin yang dirindukan oleh jiwa lelaki. Namun dalam aspek-Nya sebagai Pencipta dan Pemelihara ciptaan, Allah dianggap maskulin. Dari sudut pandang metafisika murni, Allah tentu saja di atas mengatasi perbedaan lelaki-perempuan dalam cara yang sama seperti dalam doktrin-doktrin Timur Jauh Tao tertinggi mentransendensi dualisme yin dan yang.
Al-Quran menggunakan kata-kata yang berasal dari akar hubb ketika merujuk kepada cinta. Kaum Sufi juga menggunakan istilah seperti itu, tetapi mereka menambahkan ke istilah ‘isyq, yang menyiratkan cinta yang intens, dan mereka mengklaim bahwa Al-Quran, sebagai kitab suci, tidak menggunakan istilah ini lantaran keekstreman dan intensitasnya. Kata ‘isyq, menurut sumber-sumber tradisional, diturunkan dari nama untuk tanaman anggur yang melilitkan dirinya ke seputar sebatang pohon dan menekan begitu keras pada batangnya sehingga pohon itu mati. Etimologi puitis ini merujuk kepada kebenaran yang mendalam bahwa cinta melibatkan kematian. Seperti dikatakan Rūmī, “sang Kekasih hidup dan sang pecinta mati.” Di sini kita teringatkan pada “Nyanyian Cinta-Kematian” (Liebestod) dalam opera Wagner yang terkenal, Tristan und Isolde.
Kisah cinta yang hebat biasanya berakhir dalam kematian, seperti yang kita lihat misalnya dalam kisah-kisah literatur Barat seperti Tristan dan Isolde serta Romeo dan Juliet. Kematian mereka tampak dari luar seperti berkaitan dengan kekuatan dan keadaan lahiriah tetapi secara batiniah menunjukkan hubungan antara cinta yang intens dengan kematian. Dikatakan bahwa untuk setiap lelaki ada seorang perempuan—dan sebaliknya—yang merupakan pasangan pelengkap sedemikian sempurna sehingga ketika keduanya bertemu di bumi intensitas cinta mereka akan menyebabkan mereka mati. Cinta manusia bahkan yang berada di bawah tahap ekstrem ini selalu bercampur dengan beberapa derajat kematian—kematian terhadap ego sendiri, terhadap hasrat sendiri, terhadap kesenangan-kesenarangan sendiri demi kepentingan yang lain. Dan ini disebabkan cinta manusia itu sendiri merupakan pantulan dari Cinta Tuhan, yang bisa kita alami hanya setelah kematian ego kita, dan dapat mengantarkan kepada Tuhan jiwa-jiwa mereka yang cukup beruntung untuk mengalami cinta ini. Itulah sebabnya pula mengapa kisah-kisah cinta legendaris tampak dari luar seperti menyangkut cinta manusia dan dari dalam menyangkut cinta untuk Tuhan dan dari Tuhan dan karena itu sering berakhir dengan kematian sang pahlawan lelaki atau perempuan atau keduanya.
Ada begitu banyak dongeng dalam Tasauf , dan mungkin yang paling terkenal adalah kisah Laylā dan Majnūn. Cerita aslinya, yang memiliki banyak versi yang lebih baru, sederhana saja. Seorang pemuda Arab Badui bernama Qays bertemu Laylā dalam perkumpulan para wanita. Pertemuan ini berbekas begitu mendalam padanya. Ia jatuh cinta dengannya dan mengorbankan untanya untuk pesta itu. Ketika seorang lelaki bernama Manāzil datang ke pertemuan itu, perhatian semua perempuan kecuali Laylā terarah kepadanya, yang membalas cinta Qays kepadanya. Qays kemudian meminta dia dari tangan ayahnya, tetapi ayahnya menolak, mengatakan bahwa gadis itu telah bertunangan dengan orang lain. Dalam derita dan kesedihan mendalam, Qays kehilangan akal dan pikiran lalu mengembara di padang gurun setengah telanjang, hidup bersama binatang liar. Julukan Majnūn, yang berarti tergila-gila atau gila, yang kemudian disematkan untuknya, muncul akibat perilaku ini. Ayah Qays membawa berziarah ke Makkah dengan harapan bahwa ia akan sembuh, tapi pengalaman ini hanya kian menguatkan cintanya pada Laylā. Ketika sadar, Majnūn menggubah beberapa puisi mengungkapkan cintanya kepada Laylā, tetapi ia hanya bertemu dengannya satu kali lagi sebelum kematiannya.
Atas dasar puisi anonim ini, banyak versi prosa ditulis. Kisah ini menjadi terkenal dalam sastra Arab dan kemudian menjadi bagian dari tradisi sastra Persia. Barangkali adikarya terbesar yang didasarkan pada cerita ini, tetapi dengan sangat panjang lebar, adalah karya penyair Persia abad kedua belas Nizhāmī, yang mengubahnya menjadi salah satu adikarya puisi liris Persia. Sufi seperti Ahmad Ghazzālī, Attār, dan Rūmī mengubah cerita ini menjadi adalah contoh cinta Allah dan manusia sebagaimana yang dipahami dalam Tasauf. Amīr Khusraw, penyair terkemuka Persia abad keempat belas dari India, juga menyusun sebuah karya berjudul Laylī dan Majnūn (Laylī sebagai versi Persia dari Laylā) dan mendedikasikannya untuk Nizhām al-Awliyā’, orang suci Delhi yang terkenal. Selain itu, Sufi penyair abad kelima belas Jāmī menyusun sebuah karya besar dengan judul ini. Kisah Laylā dan Majnūn menjadi terkenal bukan hanya dalam sastra Arab melainkan juga Turki, Kurdi, Pashto, dan beberapa bahasa lainnya. Dalam versi Sufi ini kisah cinta terkenal ini, Laylā atau Laylī dipahami sebagai melambangkan Zat Ilahi. Nama Laylā/Laylī berasal dari kata bahasa Arab untuk malam (layl), dan itu berarti keindahan malam yang gelap, dari sinilah akar pengaitannya dengan “cahaya gelap” Zat Ilahi, yang menghitam karena intensitas cahayanya, mengatasi cahaya yang terlihat, yang melambangkan manifestasi. Ada pun Majnūn, artinya yang biasa sebagai seorang gila juga dilihat secara simbolis. Cinta juga melibatkan sejenis kegilaan, dan bahkan cinta manusia biasa sering melanggar logika dan akal sehat serta tampak bagi mereka yang tidak ditimpanya sebagai sejenis ketidakwarasan. Orang yang mencintai Allah dengan seluruh dirinya tentu akan tampak seperti ditimpa sebentuk keedanan dalam pandangan orang-orang yang menganggap keadaan yang normal sikap abai terhadap Cinta Allah yang mencirikan sebagian besar masyarakat. Kisah indah Laylā dan Majnūn karena itu merupakan sarana untuk mengekspresikan Cinta Allah terbungkus dalam bahasa cinta manusia.

Oleh: Ahmad Y. Samantho
Dicuplikdari buku : GARDEN OF TRUTH karya Seyyed Hossein Nasr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar