Jumat, 14 November 2014

HARUSKAH MENCINTA UNTUK MENCAPAI TAMAN KEBENARAN?

HARUSKAH MENCINTA UNTUK MENCAPAI TAMAN KEBENARAN?
Karena Taman Kebenaran dicapai melalui pengetahuan yang mencerahkan seperti yang dibahas dalam bab yang lalu, maka dapat ditanyakan apakah cinta merupakan pengiring yang diperlukan di jalan gnosis. Untuk menjawab pertanyaan mendasar ini penting untuk membedakan antara cinta sebagai emosi dan signifikansi metafisika cinta. Ada jalan mistik yang didasarkan hanya pada cinta yang menggiring manusia, melalui penggunaan emosi cinta yang ditujukan kepada Allah, kepada Allah sendiri.
Kebanyakan mistisisme Kristen adalah mistisisme cinta, seperti halnya bhakti marga dalam Hindu. Tasauf bukan jalan seperti itu meskipun Sufi tak hentinya berbicara tentang cinta. Dalam Tasauf cinta adalah pelengkap ma’rifah dan terkait dengan kenyataan yang diwujudkan oleh pengetahuan. Tentu saja, sebagian Sufi menekankan cinta dan pengetahuan yang lain, tetapi baik pengetahuan maupun cinta selalu hadir dalam setiap ajaran Sufi yang terpadu, sebagaimana halnya unsur tindakan, yang akan kita bicarakan dalam bab berikutnya. Rūmī adalah salah seorang penggubah lirik terindah tentang cinta dalam Tasauf , dan Matsnawī-nya diawali dengan syair-syair penuh dengan pujian terhadap cinta, namun buku yang sama disebut “samudra ma’rifah” oleh orang-orang yang mengenal karyanya dengan baik. Yang lain, seperti sahabatnya Shadr al-Dīn Qunyawī, menekankan ma’rifah tetapi tidak mengabaikan cinta. Singkatnya, jalan Tasauf menggabungkan pengetahuan dan cinta, dan jarang kita temukan seseorang atau sebuah mazhab dalam Tasauf yang ajarannya, meskipun menekankan cinta, tidak memiliki dimensi sapiential, yang murni bhakti dan bergenre sama dengan mistisisme Kristen serta beberapa bentuk spiritualitas Hindu.
Untuk pertanyaan apakah kita dapat mencapai Taman Kebenaran tanpa cinta, jawabannya adalah tidak, tapi pada saat yang sama harus ditekankan bahwa kesalehan sentimental, walaupun berharga pada tingkatannya sendiri, tidak dengan sendirinya memadai untuk tugas tersebut. Harus ada pengetahuan yang direalisasi, tetapi realisasi ini melibatkan seluruh wujud kita dan karenanya harus meliputi realitas cinta. Lebih jauh lagi, cinta mengantarkan kepada persatuan, dan Allah mencintai makhluk-Nya, sehingga tidak ada cara untuk mencapai Tuhan tanpa mengalami api cinta itu, yang membinasakan keberadaan kita yang terpisah lalu mengubah kita menjadi abu, yang darinya jiwa kita yang abadi muncul kembali dengan kehidupan yang baru. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa orang yang tidak mencinta sesungguhnya tidaklah hidup.
Oleh: Ahmad Y. Samantho
Dicuplikdari buku : GARDEN OF TRUTH karya Seyyed Hossein Nasr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar