Sabtu, 16 Mei 2015

Rasisme Di Indonesia....Masih Ada???

Beberapa hari yang sangat telah berlalu, saya menghabiskan malam di depan PC Notebook saya hanya untuk membuka akun Facebook dan Twitter. Kemudian ada sebuah tweet dari teman saya bahwa Tri Rismaharini, Walikota Surabaya menjadi bintang tamu di acara Mata Najwa yang disiarkan oleh sebuah televisi milik petinggi sebuah partai politik di Bumi Pertiwi ini. Saya langsung bergegas menyalakan televisi. Saat itu, Najwa Sihab, sang tuan rumah acara mendengarkan penjelasan dari walikota yang menjadi walikota terbaik sedunia untuk bulan Februari versi sebuah laman internet di luar negeri. Baru pertama kali saya melihat acara ini. Kemudian saya dibawa oleh Najwa untuk melewati waktu dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang ajaib dan tanpa basa-basi. Pertanyaan yang diajukan bukan pertanyaan yang remeh hingga berani menanyakan hal yang bersifat pribadi dengan meminta ijin terlebih dahulu kepada interviewee dan hak untuk menolak menjawab pertanyaan yang diajukan. Hingga pada menit-menit menjelang akhir, Tri Rismaharini yang dikenal sebagai wanita kokoh bahkan sempat membuat DPRD Surabaya bertekuk lutut karena ketegasan yang dibarengi dengan kejujurannya sehingga anggota parlemen merasa tidak diuntungkan atas keputusannya, bercerita tentang sebuah kisahnya dengan penduduknya yang merupakan seorang PSK sambil menangis. Bagaimanapun juga saya tahu bahwa menangis adalah hal yang humanis. Namun, semenjak saya mengikuti perkembangan Walikota Surabaya tahun lalu, baru kali ini saya melihat beliau menangis. Hal ini lantas membuat saya keesokan harinya mengunduh video acara ini lewat laman youtube. Salah satu video yang saya unduh adalah edisi “Mendadak Capres” yang menghadirkan Raja Dangdut, Rhoma Irama. Saya awalnya melihat video tersebut tanpa ada asumsi apapun, negatif atau positif. Ada kebenaran yang diungkapkan juga mengingat beberapa karyanya mennyiratkan ajakan untuk hidup damai walau dalam keberagaman, dan melakukan hal-hal baik lainnya. Namun saya mulai terperanjat saat beliau mengatakan “Ada sebuah desakan yang sangat serius dari kalangan politisi dan ulama. Kemudian ada rasa keterpanggilan karena ada anak bangsa yang lari jauh dari reformasi.” Pada detik ini saya mulai berpikir, mengapa beliau mengatasnamakan ‘ulama’ ? Apakah memang benar? Atau beliau hanya mengambil kata ‘ulama’ hanya karena segelintir ulama mendesak beliau? Kemudian beliau juga membawa nama umat Islam karena umat Islam adalah penduduk mayoritas Negara ini. Selain itu juga berkata “Ada suatu etnis yang tidak biasa berada di birokrat, sekarang berada di birokrat (mengacu ke etnis Tionghoa; Ahok, setelah ditanya Najwa) sehinga memunculkan kecemasan di kalangan umat Islam.” Pernyataan ini pun membuat saya bertanya-tanya dalam hati sambil tertawa. Apakah umat Islam Jakarta cemas karena Ahok jadi wakil gubernur? Bukankah mayoritas warga Jakarta juga Islam? Sehingga kemenangan Jokowi dan Ahok adalah sebuah representasi dari suara rakyat. Bila pun dikalkulasi, kalau semua umat Islam tidak memilih Jokowi dan Ahok, sedangkan agama lain memilihnya, saya pikir Jokowi tak akan jadi gubernur. Hal itu menandakan bahwa umat Islam di Jakarta pun mayoritas memilih Jokowi dan Ahok sebagai pemimpin mereka. Namun saya tidak mengerti mengapa Rhoma Irama begitu rasis. Apakah karena Ahok adalah etnis Tionghoa, atau karena seorang Kristen. Selain itu beliau juga menyatakan berbagai keinginannya dengan mengatasnamakan umat Islam (lagi) sebagai penduduk mayoritas Indonesia. Saya miris melihat jawaban ini. Maka bagaimana bila Rhoma Irama jadi Presiden? Mungkin saja beliau akan mengistimewakan Islam, atau mengusir masyarakat non-Islam dari Indonesia, atau bahkan mengganti nama Indonesia menjadi Al-Indunisiyya. Namun, jangankan jadi Presiden. Jadi calon Presiden yang ada di kertas suara pun nampaknya hanya tim suksesnya saja yang mau. Walaupun saya seorang Islam dan bukan etnis Tionghoa, tapi saya memiliki teman dari berbagai agama yang ada di Indonesia. Sayapun ikut merasa malu karena jawaban yang terkesan rasis dan membuat Islam seakan-akan menjadi agama yang ingin menang sendiri di Indonesia ini. Atau mungkin ada kaum yang berpegang “harus memilih pemimpin yang seiman”? tapi menurut pandangan ulama juga, hukum memilih pemimpin yang tak seiman tidak dilarang bila memang dia yang terbaik. Bodoh dong, kalau saya memilih seorang Muslim yang rasis untuk menjadi pemimpin sedangkan ada seorang Hindu yang tidak rasis dan mempunyai jejak rekam yang bagus, mengerti urusan tata negara, dan memihak rakyat. Bahkan dalam Mata Najwa pun, beliau mengaku belum mempelajari urusan tata negara karena percaya bahwa hal itu bisa dikejar dan juga pasti bisa dilakukan oleh menterinya. Bahkan, penyandang gelar Profesor dan Doktor dari Ilmu Hukum, Administrasi Negara, Sosial, Politik, Ekonomi, Kedokteran, Teknik, Psikologi, atau Teologi pun belum tentu bisa mengendalikan negara yang majemuk ini. Memang rasisme masih ada di negara ini. Membawa golongan juga masih ada walaupun memang semua penduduk berhak berserikat apalagi membentuk partai yang bertemakan satu agama dan justru tidak bertema Pancasila sebagai ideologi Indonesia. Mungkin penduduk pribumi masih ada yang tak suka dengan Tionghoa karena dulu saat masa penjajahan mereka suka cari perhatian ke penjajah agar tak dibunuh dan mendapat bayaran. Namun, tak semua Tionghoa melakukan itu. Apalaagi mungkin yang sekarang hidup adalah anak atau cucu pelaku pengkhianatan terhadap Indonesia pada masa penjajahan dulu. Selain itu fenomena belakangan ini akibat sejarah kelam masa lalu yang membuat beberapa oknum pribumi membenci etnis Tionghoa, membuat keturunan etnis tersebut terkadang juga mnejadi sasaran tindak kejahatan. Contohnya saja, preman di pasar yang melakukan pemalakan atau perampokan dengan cara halus kepada tuan toko etnis Tionghoa setiap hari. Kemudian juga mereka yang menjadi pengusaha penjualan emas, maka mereka merupakan sasaran utama. Apalagi pengusaha tionghoa yang berjas, nampaknya pengawalan harus ketat. Stigma masyarakat awam saat ini adalah China itu pelit. Padahal pelit bukanlah kasus yang berdasarkan ras. Pasti semua ras di dunia memiliki oknum-oknum pelit mereka sendiri. Namun memang kedisiplinan Tionghoa membuat kaum-kaum yang tak biasa dibentak dan disiplin membenci kaum Tionghoa. Bahkan kebaikan pun juga tidak bisa diterapkan dengan cara yang sama pada orang yang berbeda. Padahal, saya juga memiliki seorang sahabat keturunan Tionghoa yang bergama Kristen Protestan. Namun mereka malah sangat baik dan sering memberi sesuatu kepada kami. Namun kaum radikal, fanatik, dan paranoid pasti menganggap kebaikan ras atau agama lain adalah bentuk umpan agar mau mengikuti agama mereka. Padahal masalah iman itu menjadi tanggung jawab diri kita bagaimana kita bisa membentengi diri kita agar walaupun ibarat kata tubuh kita berada di dalam gereja, namun hati kita tetap kepada Tuhan yang kita sembah. Sedangkan manusia juga tak bisa memilih di rahim manakah mereka memasukkan roh ke dalam jasad. Sehingga ras bukanlah pilihan manusia. Warna kulit, orang tua, tempat kita lahir, kapan kita lhir, adalah hal yang tak bisa kita tentukan bahkan kita pesan. Maka rasis merupakan sebuah pengkhianatan kepada Tuhan yang telah membuat ras dan perbedaan itu ada di alam semesta ini. Kemudian untuk para pemimpin yang hanya ingin mencari kemapanan, rakyat walaupun tak pintar, tapi mereka bisa merasakan dan berpikir pemimpin mana yang mengasihi dan menyayangi mereka.
By evan prajongko on Maret 4, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar