Sabtu, 16 Mei 2015

Agama, Tuhan, dan Sesuatu yang Tidak Terjabarkan

Saya sebenarnya agak risih ketika ada seseorang dari kelompok agama tertentu “berkhotbah” sembari mengklaim bahwa ajaran agamanya yang paling benar. Klaim-klaim semacam inilah yang kerap menimbulkan perseturuan antaragama. Perselisihan karena “baju” yang dipakai bagi saya adalah pertengkaran yang konyol. Bahkan, saling sesat menyesatkan tumbuh subur antargolongan dalam sebuah agama. Katakanlah di dalam Islam, sebuah golongan menganggap sesat dan bid’ah golongan lain lantaran sisi-sisi tertentu dalam ibadahnya tak sama dengan yang diyakini. Padahal Nabi sendiri telah meramalkan bahwa kelak umatnya akan pecah menjadi beberapa golongan (firqah). Pendapat Nabi saya pikir sangat realistis. Sebab agama bila diterjemahkan oleh banyak kepala di berbagai konteks, hasilnya akan berbeda antara satu dengan yang lain. Klaim kebenaran bagi saya hanya muncul dari sikap yang tidak terbuka pada kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Bahwa Tuhan jauh lebih mahabesar ketimbang agama yang hanya sebagai “jalan” menuju hakikat-Nya. Tentang agama-agama Sebagaimana saya katakan sebelumnya, agama hanyalah “jalan” menuju Tuhan. Tentu saja banyak jalan menuju Tuhan. Sangat naïf bila Tuhan hanya menyediakan satu jalan menuju hakikat-Nya. Sebab, manusia tidak hanya berdiam diri pada satu wilayah, musim, dan budaya yang sama. Oleh karena itu, tidaklah musykil bila Tuhan menyediakan banyak jalan bagi manusia untuk menuju pada tujuan yang satu sebagai alternatif: pada agama manakah ia bisa menghayati pengalaman religiusitasnya? Huston Smith berkata, “Agama pada hakikatnya adalah makna, pemaknaan, yang muncul dari pengalaman.” Artinya, agama timbul dari pengalaman spiritual manusia. Agama akhirnya dibentuk untuk menjadi formula bagi mereka yang belum bisa menemukan kebenaran Tuhan dengan caranya sendiri. Tetapi, bila seseorang bisa mencapai Tuhan dengan caranya sendiri, niscaya agama tidak lagi diperlukan. Ia juga tak butuh nabi dan kitab suci sebagai perangkat dari agama. Inilah yang barangkali telah terjadi pada Ibrahim (Abraham) yang telah menemukan apa itu “tuhan” (hakikat tertinggi di semesta). Dengan kata lain, syariat (ibadah ritual), juga bukanlah satu-satunya jalan menuju hakikat kebenaran Tuhan. Bukan satu-satunya jalan untuk mencapai makrifat. Sebab, yang membawa kita pada kebenaran ilahiah adalah penghayatan dan pengalaman spiritual kita sendiri. Oleh karena itu—sebagaimana yang telah saya katakana tadi—ada seseorang yang bisa bertuhan tanpa beragama. Kaum demikian dikenal dengan istilah kaum “fideis”. Dalam hal ini akhirnya saya bisa berkata, adalah sebuah tindakan konyol bila ada kaum “syariatis” menganggap musyrik para penganut aliran kebatinan Jawa lantaran ibadah mereka tidak sesuai dengan yang semestinya diajarkan. Bagi saya hal itu (meminjam istilah Irshad Manji) adalah kesombongan spiritual atau (dalam istilah Ayu Utami) kecongkakan monoteisme. Sebuah keyakinan tidaklah bisa dipaksakan. Keyakinan tumbuh secara alamiah di hati tiap manusia. Sedangkan agama adalah alat yang menegaskan keyakinan yang telah ada itu. Apa pun agamanya. Tetapi tidaklah dibenarkan bila kita memaksakan sebuah agama kepada orang yang telah meyakini kebenaran agamanya, karena ia telah menerima agamanya sepenuh hati sebagai jalan mencapai kebenaran. Beberapa teman pernah bertanya (menguji) saya, “Kalau kamu memang membenarkan semua agama, kenapa kamu tidak pindah agama saja?” Saya menjawab tidaklah semudah itu. Apakah karena agama lain hanya beribadah seminggu sekali dan ritual yang diajarkannya relatif lebih mudah ketimbang ritual agama saya (yang dianggap berat) lantas saya berpindah agama? Tidak. Sebab saya telah menghayati Tuhan dalam agama yang saya anut dan justru saya nanti tidak menghayati Tuhan bila saya pindah ke agama lain. Tentang Tuhan dan sesuatu yang tak terjabarkan Begitu pula ketika ada orang yang berkata, “Tuhan seperti apa sih yang kamu sembah? Patung? Batu?” Lantas yang ditanya bertanya balik, “Bukanlah kamu kalau beribadah juga menghadap batu kotak warna hitam yang ada di jazirah arab?” Ia menjawab,” Tidak! Itu hanya sebagai pemersatu dan wasilah untuk menuju Tuhan.” Tepat! Seperti itulah yang juga dimaksud oleh yang ditanya. Cerita yang saya dengar dari kawan nonmuslim tersebut menyiratkan sebuah arti penting: kita tidak bisa menyederhanakan Tuhan begitu saja. Apa yang dikatakan kitab suci halanyalah gambaran Tuhan menurut agama pemilik kitab suci tersebut. Dengan kata lain, sebenarnya Tuhan lebih kompleks daripada itu. Apakah karena kitab suci (kata Dewi Lestari) mengatakan bahwa Tuhan itu Maha Esa, lantas kita gampang menyalahkan bahwa agama yang menyembah lebih dari satu tuhan adalah agama yang tidak benar? Bukankah kita tidak pernah bertemu dengan tuhan dan tidak pernah membuktikan berapa jumlah tuhan? Bagi saya tuhan itu berapa tidaklah penting. Apakah karena tuhan itu mewujud sebagai “sosok” lantaran ia ditunjuk dengan kata personal “aku”, lantas manusia dengan mudahnya menyama-nyamakan tuhan dengan sifat manusia (maha melihat, mendengar, penyayang, penyiksa, dan lain-lain). Sekali lagi, bagi saya, tuhan itu seperti apa tidaklah penting. Barangkali juga ada perlunya kita menyikapi tuhan sebagaimana sikap para penganut Budha dan Konghucu bahwa mereka tak mau memikirkan seperti apa tuhan karena tuhan memang tak bisa dijabarkan dengan akal manusia. Apakah ia berujud person atau hanya sebatas entitas yang mahatinggi. Sebagai seseorang yang tidak terobsesi dengan pahala dan dosa, saya tidak akan bersikap sok religius dengan sangat ketakutan terhadap ajaran yang saya percaya. Yang menjadi keyakinan saya, manusia tidak bisa dikatakan baik hanya dilihat dari akidah yang ia yakini dan ritual formal yang ia jalankan. Ia menjadi baik bila ia bermanfaat bagi sesama. Sebab, bukanlah tuhan yang memerlukan kita, tetapi manusia dan makhluk-Nya.
ditulis oleh: Royyan Julian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar