Sabtu, 16 Mei 2015

Memahami yang Tersirat dari yang Tersurat

Memahami yang Tersirat dari yang Tersurat

Masyarakat Nusantara beberapa abad lalu yang mendiami kepulauan dari Sumatera hingga Papua memiliki beragam kearifan lokal. Kearifan lokal yang beragam itu mereka wariskan kepada keturunan mereka. beberapa di antara kearifan lokal yang mampu diwariskan, masih bisa kita rasakan hingga saat ini. Beberapa di antaranya adalah kuliner, pusaka, pakaian adat, bangunan, nasehat, dan dongeng.
Sayangnya, leluhur masyarakat Jawa yang menjunjung tingkah laku dalam tutur kata yang halus, terkadang menyembunyikan kata-kata frontal dalam kata-kata kiasan seperti “batok isi madu” (tempurung berisi madu). Namun terkadang penutur kata-kata kiasan itu membuat penerima pesannya ‘menelan’ mentah-mentah pesan tersebut. Kesalahan itu diteruskan hingga membuat manusia masa kini juga sulit menelaah kebenaran yang sesungguhnya.
Contoh yang terjadi dalam umat Islam adalah kisah Syekh Siti Jenar pada masa Wali Sanga. Banyak masyarakat jaman sekarang yang mungkin masih menganggap bahwa beliau menganggap dirinya Tuhan karena beliau pernah berkata kepada jemaatnya bahwa, “Tuhan, adalah aku. Aku adalah Tuhan.” Bila kita mentah-mentah menerima kalimat itu, pasti akan terhenyak dan menganggap bahwa beliau menganggap dirinya Tuhan. Hal ini karena kita tidak bisa mengetahui secara langsung apa yang terjadi dan tidak melihat bagaimana beliau menyampaikan kalimat itu. Kalau beliau saat menyebut kata “aku” menunjuk dirinya dan pada saat menyebut “Tuhan” menunjuk ke atas, maka Syekh Siti Jenar sedang mengucapkan sebuah kiasan.
Hal ini karena dalam Islam juga disebutkan bahwa jarak Tuhan dari umatnya adalah lebih dekat daripada jarak urat nadi. Hal itu dapat berarti bahwa Tuhan ada dalam diri manusia. Mengalir dalam darah yang membuat seburuk-buruknya manusia, pasti memiliki sebuah kebaikan. Kebaikan inilah yang datang dari Tuhan. Namun jemaat Syekh Siti Jenar belum menangkap maksud beliau sehingga justru menyembah beliau. Nahasnya lagi Syekh Siti Jenar tidak meluruskan hal yang demikian. Bila dianalogikan dengan jaman sekarang ini, apa yang dilakukan beliau adalah seperti seorang guru besar suatu perguruan tinggi yang menyampaikan orasi ilmiah dengan bahasa kaum intelektual padahal ia sedang berhadapan dengan kaum sudra.
Dalam salah satu kitab Hindu, Bhagavad Gita, diceritakan bahwa Sri Krisna yang merupakan avatar dari Bathara Wisnu menjelaskan kepada Arjuna. Dalam diri manusia ada sifat ketuhanan. Namun sifat itu dibalut dengan raga dan nafsu manusia sehingga terkadang tak nampak. Bisa dikatakan seperti hati nurani atau badan halus manusia. Hal demikian terjadi bila manusia melakukan kebaikan dengan didorong hati nurani murni, maka pada saat itu pula muncul Tuhan di dalam diri manusia. Maka hal itu diibaratkan bahwa ada Tuhan dalam diri manusia.
Kemudian kesulitan manusia untuk memahami apa yang tersirat dari yang tersurat juga muncul dan dipercayai. Salah satu contoh adalah legenda-legenda di Indonesia. Beberapa danau atau telaga di Indonesia terlebih di pulau Jawa, memiliki cerita asal-usul yang mirip. Walaupun sebagaimana kita yang terpelajar tahu bahwa danau dan telaga adalah fenomena alam yang tak lepas dari kuasa penggerak roda kehidupan di alam semesta. Cerita dari terjadinya telaga dan danau pada intinya adalah ada seorang pertapa yang memiliki sebuah pusaka yaitu keris. Keris itu tidak boleh disentuh atau berada di pangkuan seorang gadis. Namun kelak keris itu tersentuh gadis dan masuk ke tubuh gadis. Lalu gadis itu mengandung dan melahirkan ular naga atau ular, atau anak yang bersisik ular. Anak itu walaupun baik, namun kerap dicerca oleh orang-orang. Hingga suatu ketika, anak itu mengadakan sayembara dengan menancapkan lidi di tanah dan menantang orang lain untuk mencabut lidi itu. Karena tak seorang pun yang bisa mencabut, akhirnya anak itu mencabut lidi dan muncullah air dari bekas dicabutnya lidi. Kemudian jadilah telaga atau danau.
Bila dicermati, maka akan muncul penjelasan yang dapat diterima nalar seperti ini. Ada seorang pemuda terpikat oleh gadis. Namun karena dorongan nafsu jahat, mereka melakukan hubungan intim (keris adalah lambang kejantanan yang berarti alat kelamin pria). Kemudian gadis itu hamil dan melahirkan seorang anak. Anaknya tidak bersisik ular. Sisik ular yang dimaksud dalam legenda itu adalah kekotoran. Secara awam, dapat disebut anak haram. Kemudian anak haram itu dicerca, padahal anak haram itu tidak jahat. Anak haram itu bisa menjadi orang yang baik dan bermanfaat bagi orang lain (dianalogikan air) yang akhirnya membuat orang-orang tersadar akan kebaikannya (dianalogikan dengan orang-orang tenggelam). Penutur kisah ini ingin menyampaikan bahwa seharusnya walaupun manusia dicerca dan disepelekan, namun mereka tidak boleh membalas dengan keburukan melainkan harus tetap menjalankan kebaikan. Sayang, karena akal beberapa manusia belum masuk dan paham, justru dari cerita ini ada beberapa yang menanggapi bahwa bila ada yang meremehkan, maka harus dibalas dengan cara balas dendam seperti anak tadi yang menenggelamkan orang-orang.
Hal ini mungkin juga dapat ditemukan dari legenda asal mula terjadinya Reyog Ponorogo. Tari kolosal dengan salah satu topeng terbesar dan terberat di dunia namun hanya disokong dengan kekuatan gigi ini dikisahkan sebagai sindiran seorang demang Ketut Suryongalam atau Ki Ageng Kutu terhadap Raja Brawijaya V yang terlalu memuji dan memuja istrinya, Putri dari Campa yang beragama Islam. Hal ini dilambangkan dengan topeng Reyog berupa singa yang dinaiki merak. Ki Ageng Kutu yang memerintah Kerajaan Wengker pada saat itu akhirnya tercium gelagatnya oleh Raja Brawijaya V. Akhirnya beliau memerintahkan anaknya yaitu Lembu Kanigoro yang saat itu sedang berada di Demak karena kakaknya adalah seorang raja bergelar Raden Patah di sana, untuk menumpas Ki Ageng Kutu. Hal itu juga diboncengi oleh kepentingan Raden Patah untuk menyebarkan Islam di daerah Wengker. Akhirnya Ki Ageng Kutu dikalahkan Lembu Kanigoro yang kemudian memberi gelar kepada dirinya sebagai Bathoro Katong. Nama Bathoro diambil untuk meredam amuk warga yang beragama Hindu. Kemudian rakyat di sana percaya bahwa Bathoro Katong adalah titisan Bathara atau Dewa sehingga lama-lama memeluk agama Islam. Bagi Ki Ageng Kutu, Raja Brawijaya V bersalah. Namun, di mata Raja Brawijaya V, Ki Ageng Kutu juga bersalah karena melakukan suatu pemberontakan. Daerah yang ditaklukkan Bathoro Katong sekarang bernama Ponorogo. Kemudian dalam misi penyiaran agama Islam, Ki Ageng Mirah yang merupakan seorang pengikut, patih, dan sahabat Bathoro Katong menambahkan bumbu sendratari dalam Reyog sehingga menghasilkan sebuah cerita lamaran Prabu Klanasewandana kepada Dewi Sanggalangit dari Kediri yang dihadang Singobarong (Barongan pada Reyog) yang jahat. Akhirnya seperti kisah-kisah lainnya, kebaikan megalahkan kejahatan.
Karena ada kecerdasan mencari padanan kisah fiksi dan menghubungkan dengan peristiwa, tempat, atau keadaan pada masa itu, menjadikan kisah fiksi itu seakan-akan sangat nyata. Hal ini juga membuat pada saat ini pun banyak manusia yang mempercayai bahwa pada jaman dahulu ada seorang manusia berkepala singa. Padahal bila kita amati, Dhadhak Merak (sebutan barongan untuk Reyog) tidak terdiri dari dua hewan saja, tetapi ada tiga. Merak, Singa dan Harimau. Bagaimana bisa? Lihatlah kepala Dhadhak Merak. Bila dikatakan singa, kulitnya loreng seperti harimau. Bila dikatakan harimau, ia memiliki rambut seperti singa.
Namun sebenarnya di balik semua itu dan juga bila ada pembaca yang tidak setuju dengan saya karena masih percaya dengan manusia berkepala singa, misalnya, para leluhur kita selalu menyampaikan pesan kebaikan untuk kita agar selalu melakukan kebaikan. Sayangnya lama-lama cerita mereka hanya menjadi dongeng pengantar tidur yang sulit dipahami apa saja makna yang tersirat di balik kisah yang tersurat. Inti dari kemauan mereka adalah, dalam kehidupan ini, manusia hendaklah selalu berbuat kebaikan walaupun dunia ini pun tidak baik kepada kita karena kebaikan dan kejahatan akan selalu ada hingga alam semesta ini tiada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar