Jejak Riwayat Optika dan Aplikasinya
Cahaya membuat kita bisa menyaksikan keindahan alam, matematika mengungkapkan strukturnya, dan optika adalah alat kesaksian yang tak ada duanya. PEMAHAMAN manusia terhadap ilmu optika-asalnya dari bahasa Yunani yang berarti "melihat", dan kini umum diartikan dengan segala hal yang berkaitan dengan sistem, instrumen yang memanfaatkan lensa, cermin, prisma telah dimulai sekitar 300 tahun Sebelum Masehi, ketika Euklides dari Alexandria dalam karyanya Optica mencatat
bahwa cahaya menjalar dalam garis lurus dan menjelaskan hukum pemantulan.
SEMENJAK itu tidak sedikit pemikir dan ilmuwan yang mendalami optika. Dari Alexandria sendiri bahkan masih ada nama besar seperti Ptolomeus yang mendalami topik ini sekitar 140 SM. Pada bergantian milenium pertama ke kedua juga hidup Ibnu al-Haitham yang lahir di Basra dan dikenal sebagai penyelidik cermin sferik dan parabolik, dan telah mengetahui masalah aberasi, pembesaran oleh lensa, dan refraksi atmosfer. Karyanya kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan dibaca oleh sarjana Eropa.
Bisa dicatat pula sumbangan Roger Bacon dari Inggris sekitar tahun 1267 yang telah menyadari bahwa kecepatan cahaya terbatas dan menjalar melalui medium dengan cara yang analog dengan menjalarnya bunyi.
Penelitian mengenai optik pun diperluas, mulai dari untuk keperluan praktis bagi kebutuhan manusia, seperti usulan penggunaan kacamata untuk membantu penglihatan (oleh Bernard Gordon, Perancis, 1303), hingga untuk penyelidikan gejala alam, seperti memahami terjadinya pelangi (Theodoric dari Freiberg pada dekade pertama abad ke-14).
Berikutnya produk optik penting mulai muncul pada akhir abad ke-16 ketika tahun 1590 Zacharius Jensen dari Belanda membuat satu mikroskop menggunakan lensa gabungan. Selain mikroskop dibuat pula teleskop oleh Hans Lippershey (Belanda, 1608), yang kemudian diikuti oleh Galileo Galilei (Italia), yang pada tahun 1610 mengumumkan sejumlah penemuan astronomik-antara lain empat bulan planet Jupiter- dengan perantaraan teleskop buatannya.
Tentang teleskop ini sendiri, cara pembuatannya lalu diperluas dengan keikutsertaan Isaac Newton yang memperkenalkan teleksop relektor, setelah mengetahui bahwa teleskop refraktor mengandung cacat aberasi khromatik.
OPTIKA sebagai satu cabang dalam ilmu fisika, memang telah menyusuri riwayat yang panjang. Penglihatan manusia sendiri telah menjadi satu kajian yang tidak ada habis-habisnya. Tetapi manusia menyadari, bahwa penglihatannya sungguh amat terbatas, baik untuk melihat ukuran-ukuran kecil, maupun untuk melihat benda-benda yang jauh letaknya. Secara alamiah, kemajuan optika amat didorong oleh upaya manusia untuk "memperkuat" daya penglihatannya.
Sekilas di atas telah dikemukakan riwayat perkembangan riset optika. Kalau di zaman kuno ada nama seperti Aristophanes, di Abad Pertengahan ada Galileo dan Newton, berikutnya juga ada Huygens dan van Leeuwenhoek dalam bidang mikroskop, dan Fresnel dan Doppler dalam optika gelombang.
Dari situs Optics Highlights yang dikelola oleh LS Taylor dari Departemen Teknik Listrik di Universitas Maryland, disebut pula sejumlah akar sistem optika modern.
Disebutkan bahwa kemajuan revolusioner di bidang optika pada abad ke-20 dimulai dengan lahirnya laser pada tahun 1960, yang diikuti dengan perkembangan sistem komunikasi optik yang amat cepat, juga sistem pencitraan (imaging), holografi, sistem penyimpanan dan pengambilan data optikal, serta pemrosesan optikal.
Kini, di tahun-tahun awal abad ke-21 wacana sekitar optika telah bergeser dalam lingkup nano-optika. Seperti apa yang diteliti oleh ilmuwan di Institut Optika Universitas Rochester, nano-optika mempelajari interaksi optik dengan materi pada skala di bawah ukuran panjang gelombang (subwavelength). Di institut ini diteliti antara lain material yang ditata dengan teknik nano (nanostructured), yang bergerak dalam skala sepermiliar meter, untuk aplikasi penginderaan. Dalam penelitian lain, yakni tentang molekul tunggal, pada pertengahan Juli lalu juga telah muncul pula temuan menarik bahwa pada molekul tunggal-sebagaimana pada telepon seluler- ada kesamaan, yaitu antena dipol.
Tren menuju nanoscience dan nanotechnology-juga yang melibatkan nano-optika - tidak bisa disangkal lagi. Ini didorong oleh kecenderungan manusia untuk menjangkau skala-skala yang makin kecil dan makin kecil, di mana hukum-hukum fisika yang dipergunakan pun beralih dari makroskopik ke mikroskopik. Eksploitasi efek kuantum bagi pemanfaatan teknologi merupakan tenaga pendorong yang paling besar di belakang miniaturisasi yang marak dewasa ini.
Kemajuan-kemajuan cepat yang dicapai dewasa ini tentu tak bisa dipisahkan dari kemampuan baru yang diperoleh untuk mengukur dan memanipulasi struktur individual pada skala nano, termasuk yang di dalamnya memanfaatkan sarana optik dan mikroskop elektron resolusi-tinggi.
Dalam tren menuju nanoscience dan nanotechnology inilah dipandang perlu untuk membahas optika dalam skala nano. Dasarnya karena limit difraksi membuat orang tidak bisa memfokuskan cahaya ke dimensi yang lebih kecil daripada separuh panjang gelombang, dan ini tentu saja membuat orang tak bisa berinteraksi secara selektif dengan segi-segi (feature) berskala nano.
Tetapi para ilmuwan tidak pernah menyerah. Dalam beberapa tahun terakhir sudah muncul pendekatan baru untuk men-"ciut"-kan limit difraksi (melalui mikroskopi konfokal) atau bahkan mengatasinya (melalui mikroskopi medandekat).
Dengan teknik khusus kini bisa dilakukan spektroskopi dan pencitraan fluoresens multifoton dengan resolusi spasial kurang dari 20 nanometer. Sejauh ini, itulah resolusi optik tertinggi dalam satu pengukuran spektroskopik.
Berbagai kemajuan ini, seperti disampaikan oleh Michael Beversluis dari Universitas Rochester, telah coba diaplikasikan dalam penyelidikan struktur nano untuk biologi (misalnya mempelajari protein) dan solid state (semikonduktor).
KIRANYA untuk mengantisipasi berbagai kemajuan di bidang optika modern dan aplikasinya inilah Grup Fotonik di Laboratorium Material Organik Kunjugasi dan Superkonduktor Departemen Fisika ITB menggelar Simposium Internasional Optika Modern dan Aplikasinya di ITB Bandung, 9-13 Agustus lalu.
Diikuti oleh lebih dari 100 peserta dari 10 negara, Simposium-seperti disampaikan oleh Ketua Panitia Pelaksana Prof MO Tjia-mengetengahkan 57 makalah ilmiah. Ditinjau dari jumlah peserta dan makalah yang disajikan, Prof Tjia melihat adanya peningkatan minat terhadap bidang optika modern.
Terlepas dari fakta bahwa ITB dan Indonesia masih ketinggalan jauh dalam riset optika, Rektor ITB Kusmayanto Kadiman dalam sambutannya menyebutkan, Simposium Internasional Optika yang sudah mulai diselenggarakan sejak tahun 2001-jadi tahun 2004 ini untuk keempat kalinya-bermanfaat untuk memajukan komunikasi dan jaringan ilmiah. Kusmayanto juga mencatat, bahwa optika modern memainkan peran yang semakin penting dalam ikhtiar manusia untuk menjawab kebutuhan akan pertukaran dan pemrosesan informasi yang semakin cepat.
Dalam simposium yang didukung oleh sejumlah lembaga internasional seperti Akademi Seni dan Sains Belanda (KNAW), Dinas Pertukaran Akademik Jerman (DAAD), Pusat Fisika Teoretik Internasional Abdus Salam (ICTP), Himpunan Optika Amerika (OSA), UNSCO Jakarta, ambil bagian pula sejumlah peneliti optik dari sejumlah perguruan tinggi di Tanah Air.
Di antara makalah yang disajikan, karya JW Duparre, A Brauer, P Dannberg, P Schreiber, dan A Tunnermann yang membahas sistem pencitraan mikrooptikal kecil termasuk yang menarik perhatian hadirin, karena salah satu contohnya cukup aktual dengan produk yang hangat dewasa ini, yakni telepon seluler berkamera.
Seperti dipaparkan oleh Brauer tanggal 11 Agustus pagi, optika modern berupaya mendapatkan kamera yang resolusinya-ditunjukkan oleh angka piksel-semakin tinggi, namun tetap bisa dikemas dalam ukuran ponsel yang mungil (dalam ukuran milimeter atau submilimeter).
sumber : Haikal Hakim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar