ang harus dipelajari oleh masyarakat Indonesia dalam hal yangbaru ini. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, dari proses tersebut telahmuncul pemimpin-pemimpin daerah pilihan masyarakat yang memiliki integritas danpro rakyat. Walaupun jumlahnya masih sedikit tetapi cukup memuaskan bagimasyarakat yang baru belajar berpolitik langsung.
Pada masa sekarang ini dengan teknologiyang demikian maju, masyarakat bisa membandingkan pemimpin-pemimpin daerah merekadengan pemimpin di daerah lain. Apakah pemimpin daerah mereka layak untukdidukung, apakah pemimpin mereka pro rakyat, dan lain-lain. Masyarakat terusbelajar untuk mencari sosok pemimpin daerah yang ideal bagi mereka.
Dalam suasana pembelajaranpotlitik masyarakat ini, setelah Pilpres 2014 selesai dilaksanakan tiba-tibamasyarakat digemparkan oleh kelakuan para anggota DPR RI yang telah merekapilih sebelumnya secara langsung. Para anggota DPR RI pada bulan September 2014telah mensahkan RUU Pilkada untuk periode mendatang. Dalam RUU itu pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRDbukan lagi dipilih oleh masyarakat seara langsung. Hal in tentu menggoncangkakesadaran pembelajaran politik masyarakat. Sedikit kepuasan yang baru merekanikmati harus pupus, mimpi mereka tentang pemimpin dearah ideal mereka harussirna berganti dengan kekhawatiran kembalinya masa orde baru.
Bagi para politisi yang takberetika, tujuan mereka yang jelas adalah untuk berkuasa. Sehingga sistem yangakan mereka buat dan mereka pilih adalah yang sistem yang menguntungkan bagimereka dan kelompoknya (partainya). Bagi para politisi seperti ini, tidakpeduli apakah sistem itu akan menguntungkan atau merugikan rakyat.
Bagi Koalisi Pendukung Prabowo(KPP) yang terdiri dari Gerindra, Golkar, PKS, PPP, PAN dan Demokrat, pemilihankepala daerah secara tak langsung melalui DPRD jelas menguntungkan. Karena partai-partaidalam KPP menguasai suara mayoritas DPRD I di 31 propinsi di Indonesia. Jikadiadakan Pilkada melalui DPRD, maka KPP akan memborong 31 kursi gubernur dari34 propinsi yang ada di Indonesia. Karenanya, tidaklah mengherankan jika KPPakan berusaha sekuat tenaga dengan segala cara untuk menghapus Pilkada langsungdan mengembalikannya ke DPRD. Hal ini tentunya menyangkut transaksi bagi-bagikursi jabatan di parlemen dan pemerintahan.
Namun ternyata bukan hanya diDPR, di masyarakatpun ada orang yang menghendaki agar Pilkada langsungdihapuskan, dan kembali ke Pilkada tidak langsung. Mereka ini diantaranyaadalah para kader atau simpatisan parpol-parpol yang tergabung dalam KPP.Masyarakat dalam golongan ini, pilihannya sudah di-drop dari atas oleh pimpinanpartainya. Ketika pimpinan partai memutuskan bahwa Pilkada oleh DPRD yangterbaik bagi partainya, maka mereka akan membelanya mati-matian, tidak peduliapakah itu pro-rakyat atau tidak.
Sebagai contoh, sebelum Pilpres,PKS mendukung Pilkada langsung. PKSberpendapat bahwa Pilkada tak langsung buruk bagi kehidupan berdemokrasi diIndonesia, dan menghalangi kedaulatan rakyat seperti yang diungkapkan olehHidayat Nur Wahid. Bahkan dalam rapat Panitia Kerja RUU Pilkada terakhir diKomisi II, PKS masih bertahan untuk melakukan Pilkada secara langsung. Namunkemudian berbalik arah mendukung pemilihan kepala daerah melalui DPRD. PerubahanPKS ini penyikapan yang sangat dinamis karena PKS termasuk dalam KPP.MAsyarakat bisa menilai bagaimana kader dan simpatisan PKS membela mati-matianPilkada oleh DPRD. Bahkan mereka mengeluarkan argument bahwa pilkada taklangsung merupakan sistem yang lebih mendekati syariat Islam. Namun di balikitu semua, masyarakatpun bisa menilai bahwa politik yang dilakukan PKS inihanyalah demi transaksi kursi jabatan. Jadi, sesuai atau tidaknya dengansyariat Islam itu ditentukan oleh di koalisi mana mereka berada.
Cara berpikir yang terjadi dalampartaipolitik saat ini adalah apapun yang diputuskan oleh elit parpol adalahsatu kebenaran. Dan para kader maupun simpatisan harus membela keputusan itudengan mati-matian dengan membuat segala justifikasinya dan mencari segalaalasan pembenarannya.Hal seperti ini sangat disayangkan karena sudah mencabutdan menghilangkan daya kritis dan nalar dari para simpatisan dan kader partai. Memangtidak semua kader partai politik taklid buta pada putusan partainya. Namun bagikader yang tidak sepaham dengankeputusan pimpinan partai akan dikeluarkan dari keanggotaan partai.
Bagian masyarakat yang lain yangmendukung pilkada tak langsung ini adalah kelompok masyarakat yang mendukungPrabowo-Hatta pada saat pilpres. Bagi kelompok masyarakat ini pengesahan RUUpilkada oleh DPR RI merupakan sebagai momen kemenangan Prabowo atas Jokowi.Jadi yang nampak di sini hanyalah ambisi kemenangan bukan lagi demi kepentinganrakyat banyak.
Kelompok masyarakat terakhir yangmendukung pilkada tak langsung ini adalah kelompok masyarakat galau. Kelompokmasyarakat ini nalar dan hati nurani-nya mengatakan bahwa Pilkada langsungadalah yang terbaik untuk rakyat . Mereka menyadari bahwa Pilkada oleh DPRDberarti kemunduran ke zaman Orba, tapi mereka tak sudi mendukung Pilkadalangsung karena didukung oleh koalisi Jokowi-JK. Jadi kelompok masyarakat iniadalah kelompok yang menjadi korban fitnah, kampanye negatif oleh para elitpartai politik pada masa pilpres kemarin. Sangat disayangkan apabila kebencianbisa menghilangkan kejernihan hati dan pikiran, kebencian bisa mengalahkan hatinurani.
Apabila dikembalikan pada semangat reformasi tahun 1998,maka pilkada langsung merupakan buahdari reformasi yang telah jalankan selama ini. Oleh karena itu, pilihan kepaladaerah langsung ini tentunya mesti dijagadan dipertahankan sebagaimana pula pemilihan presiden secara langsung. Walaupuntentunya masih tetap ada perbaikan dalam sistemnya. Pilkada melalui DPRDmerupakan kemunduran fundamental dari demokrasi di Indonesia. Pilkada di DPRDakan menutup peluang bagi tokoh non-mainstream untuk maju memimpin daerah.Karena pemilihan akan dikuasai oligarki partai.
Bila dikilas balik pada masa pemilihanlegislative masa lalu, apakah masyarakat ada yang mengenal caleg DPR/DPRD yangakan mereka pilih ? Dengan demikian apakah masyarakat masih sudi mewakilkan suaramereka untuk menentukan Pemimpin daerahnya kepada orang-orang yang masyarakatsendiri tidak mengenalnya dengan baik ? Apalagi menurut KPK jumlah anggota DPRDyang terjerat korupsi sebanyak 3.600 orang. Apakah masyarakat masih sudimemilih caleg yang demikian ? Apakah masyarakat masih sudi memberikan haknyakepada orang-orang yang korup dengan pilkada tak langsung, yang tentunya jugaakan memillih oragng yang setipe dengan mereka ?
Jangan mau dibodohi oleh elitpartai politik, mereka hanya mengejar kekuasaan. Semua keputusan ada di tanganmasyarakat itu sendiri. Dengan pikiran dan hati nurani yang jernih tentunyamasyarakat tahu apa yang mereka inginkan. Jangan sampai terjadi di suatu masa ditahun 2018 nanti, ketika masyarakat bangun dari tidurnya di pagi hari,tiba-tiba kota/daerahnya sudah mempunyai pemimpin yang baru, sebagai pilihan daripara anggota DPRD.
Pada masa sekarang ini dengan teknologiyang demikian maju, masyarakat bisa membandingkan pemimpin-pemimpin daerah merekadengan pemimpin di daerah lain. Apakah pemimpin daerah mereka layak untukdidukung, apakah pemimpin mereka pro rakyat, dan lain-lain. Masyarakat terusbelajar untuk mencari sosok pemimpin daerah yang ideal bagi mereka.
Dalam suasana pembelajaranpotlitik masyarakat ini, setelah Pilpres 2014 selesai dilaksanakan tiba-tibamasyarakat digemparkan oleh kelakuan para anggota DPR RI yang telah merekapilih sebelumnya secara langsung. Para anggota DPR RI pada bulan September 2014telah mensahkan RUU Pilkada untuk periode mendatang. Dalam RUU itu pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRDbukan lagi dipilih oleh masyarakat seara langsung. Hal in tentu menggoncangkakesadaran pembelajaran politik masyarakat. Sedikit kepuasan yang baru merekanikmati harus pupus, mimpi mereka tentang pemimpin dearah ideal mereka harussirna berganti dengan kekhawatiran kembalinya masa orde baru.
Bagi para politisi yang takberetika, tujuan mereka yang jelas adalah untuk berkuasa. Sehingga sistem yangakan mereka buat dan mereka pilih adalah yang sistem yang menguntungkan bagimereka dan kelompoknya (partainya). Bagi para politisi seperti ini, tidakpeduli apakah sistem itu akan menguntungkan atau merugikan rakyat.
Bagi Koalisi Pendukung Prabowo(KPP) yang terdiri dari Gerindra, Golkar, PKS, PPP, PAN dan Demokrat, pemilihankepala daerah secara tak langsung melalui DPRD jelas menguntungkan. Karena partai-partaidalam KPP menguasai suara mayoritas DPRD I di 31 propinsi di Indonesia. Jikadiadakan Pilkada melalui DPRD, maka KPP akan memborong 31 kursi gubernur dari34 propinsi yang ada di Indonesia. Karenanya, tidaklah mengherankan jika KPPakan berusaha sekuat tenaga dengan segala cara untuk menghapus Pilkada langsungdan mengembalikannya ke DPRD. Hal ini tentunya menyangkut transaksi bagi-bagikursi jabatan di parlemen dan pemerintahan.
Namun ternyata bukan hanya diDPR, di masyarakatpun ada orang yang menghendaki agar Pilkada langsungdihapuskan, dan kembali ke Pilkada tidak langsung. Mereka ini diantaranyaadalah para kader atau simpatisan parpol-parpol yang tergabung dalam KPP.Masyarakat dalam golongan ini, pilihannya sudah di-drop dari atas oleh pimpinanpartainya. Ketika pimpinan partai memutuskan bahwa Pilkada oleh DPRD yangterbaik bagi partainya, maka mereka akan membelanya mati-matian, tidak peduliapakah itu pro-rakyat atau tidak.
Sebagai contoh, sebelum Pilpres,PKS mendukung Pilkada langsung. PKSberpendapat bahwa Pilkada tak langsung buruk bagi kehidupan berdemokrasi diIndonesia, dan menghalangi kedaulatan rakyat seperti yang diungkapkan olehHidayat Nur Wahid. Bahkan dalam rapat Panitia Kerja RUU Pilkada terakhir diKomisi II, PKS masih bertahan untuk melakukan Pilkada secara langsung. Namunkemudian berbalik arah mendukung pemilihan kepala daerah melalui DPRD. PerubahanPKS ini penyikapan yang sangat dinamis karena PKS termasuk dalam KPP.MAsyarakat bisa menilai bagaimana kader dan simpatisan PKS membela mati-matianPilkada oleh DPRD. Bahkan mereka mengeluarkan argument bahwa pilkada taklangsung merupakan sistem yang lebih mendekati syariat Islam. Namun di balikitu semua, masyarakatpun bisa menilai bahwa politik yang dilakukan PKS inihanyalah demi transaksi kursi jabatan. Jadi, sesuai atau tidaknya dengansyariat Islam itu ditentukan oleh di koalisi mana mereka berada.
Cara berpikir yang terjadi dalampartaipolitik saat ini adalah apapun yang diputuskan oleh elit parpol adalahsatu kebenaran. Dan para kader maupun simpatisan harus membela keputusan itudengan mati-matian dengan membuat segala justifikasinya dan mencari segalaalasan pembenarannya.Hal seperti ini sangat disayangkan karena sudah mencabutdan menghilangkan daya kritis dan nalar dari para simpatisan dan kader partai. Memangtidak semua kader partai politik taklid buta pada putusan partainya. Namun bagikader yang tidak sepaham dengankeputusan pimpinan partai akan dikeluarkan dari keanggotaan partai.
Bagian masyarakat yang lain yangmendukung pilkada tak langsung ini adalah kelompok masyarakat yang mendukungPrabowo-Hatta pada saat pilpres. Bagi kelompok masyarakat ini pengesahan RUUpilkada oleh DPR RI merupakan sebagai momen kemenangan Prabowo atas Jokowi.Jadi yang nampak di sini hanyalah ambisi kemenangan bukan lagi demi kepentinganrakyat banyak.
Kelompok masyarakat terakhir yangmendukung pilkada tak langsung ini adalah kelompok masyarakat galau. Kelompokmasyarakat ini nalar dan hati nurani-nya mengatakan bahwa Pilkada langsungadalah yang terbaik untuk rakyat . Mereka menyadari bahwa Pilkada oleh DPRDberarti kemunduran ke zaman Orba, tapi mereka tak sudi mendukung Pilkadalangsung karena didukung oleh koalisi Jokowi-JK. Jadi kelompok masyarakat iniadalah kelompok yang menjadi korban fitnah, kampanye negatif oleh para elitpartai politik pada masa pilpres kemarin. Sangat disayangkan apabila kebencianbisa menghilangkan kejernihan hati dan pikiran, kebencian bisa mengalahkan hatinurani.
Apabila dikembalikan pada semangat reformasi tahun 1998,maka pilkada langsung merupakan buahdari reformasi yang telah jalankan selama ini. Oleh karena itu, pilihan kepaladaerah langsung ini tentunya mesti dijagadan dipertahankan sebagaimana pula pemilihan presiden secara langsung. Walaupuntentunya masih tetap ada perbaikan dalam sistemnya. Pilkada melalui DPRDmerupakan kemunduran fundamental dari demokrasi di Indonesia. Pilkada di DPRDakan menutup peluang bagi tokoh non-mainstream untuk maju memimpin daerah.Karena pemilihan akan dikuasai oligarki partai.
Bila dikilas balik pada masa pemilihanlegislative masa lalu, apakah masyarakat ada yang mengenal caleg DPR/DPRD yangakan mereka pilih ? Dengan demikian apakah masyarakat masih sudi mewakilkan suaramereka untuk menentukan Pemimpin daerahnya kepada orang-orang yang masyarakatsendiri tidak mengenalnya dengan baik ? Apalagi menurut KPK jumlah anggota DPRDyang terjerat korupsi sebanyak 3.600 orang. Apakah masyarakat masih sudimemilih caleg yang demikian ? Apakah masyarakat masih sudi memberikan haknyakepada orang-orang yang korup dengan pilkada tak langsung, yang tentunya jugaakan memillih oragng yang setipe dengan mereka ?
Jangan mau dibodohi oleh elitpartai politik, mereka hanya mengejar kekuasaan. Semua keputusan ada di tanganmasyarakat itu sendiri. Dengan pikiran dan hati nurani yang jernih tentunyamasyarakat tahu apa yang mereka inginkan. Jangan sampai terjadi di suatu masa ditahun 2018 nanti, ketika masyarakat bangun dari tidurnya di pagi hari,tiba-tiba kota/daerahnya sudah mempunyai pemimpin yang baru, sebagai pilihan daripara anggota DPRD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar